Sunday, February 21, 2016

Tadabbur Surah Al-Qadr

Oleh : As Syahid Sayyid Qutb* 

Alih Bahasa : Faris Jihady, Lc

Malam Lailatul Qadr, adalah malam ketersambungan mutlak antara dunia dengan langit, momen bermulanya penyampaian AlQur’an ke hati nabi Muhammad saw, momen yang penuh keagungan yang belum pernah dialami sebelumnya dalam sejarah kehidupan manusia. Momen yang sangat agung, agung dalam kandungan dan jejak pengaruhnya dalam kehidupan manusia seluruhnya.

Nash-nash Al-Qur’an yang menyebutkan peristiwa agung ini begitu bercahaya dan penuh dengan pencerahan dengan cahaya Allah yang benderang, seiring dengan cahaya malaikat dan Jibril yang berpendaran sepanjang malam dalam ruang antara langit dan bumi.

Malam Lailatul Qadr yang dibicarakan surat ini adalah malam yang sama sebagaimana disebutkan dalam Surat AdDukhan (3-5); “sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam yang diberkahi, sungguh Kamilah yang memberi peringatan, pada malam itu ditetapkan segala urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan dari sisi Kami”.
Sebagaimana diketahui bahwasanya ia adalah satu malam dari malam-malam Ramadhan. Dalam penentuan kapan jatuhnya malam Lailatul Qadr ada banyak hadits dan atsar yang menjelaskan, pendapat yang paling kuat berdasarkan hadits-hadits shahih ia diduga kuat jatuh pada malam-malam ganjil 10 hari terakhir Ramadhan.

Nama malam ini adalah “Lailatul Qadr”, yang memiliki dua kemungkinan makna; 1) takdir dan tadbir (penentuan dan pengaturan, 2) kemuliaan dan kedudukan. Kedua makna ini bersesuaian dengan momen peristiwa besar yang agung itu, peristiwa wahyu dan risalah yang menyambungkan antara kehidupan makhluk di atas muka bumi dengan kemuliaan langit, tak ada satu pun peristiwa di atas muka bumi yang menyamai keagungan dan kemuliaan peristiwa wahyu dan risalah tersebut, karena itulah ia lebih baik dari seribu bulan.

Seribu bulan, penyebutan angka di sini tidaklah berarti pembatasan jumlah, namun dimaksudkan darinya kadar jumlah yang banyak sebagaimana kebiasaan Al-Qur’an. Betapa banyaknya ribuan bulan dan tahun yang terlewat tanpa meninggalkan jejak dalam kehidupan manusia, tidak sebagaimana jejak yang telah ditinggalkan oleh peristiwa agung penuh berkah ini, Lailatul Qadr.

Hakikat keagungan malam ini melampaui batas pemahaman manusia, karena itulah ia menyapa manusia, “wa maa adraka maa lailatul qadr, tahukah kamu apa malam lailatul qadr itu?”, sebab itulah keagungan malam ini tak memerlukan mitos-mitos yang diada-adakan. Ia adalah malam yang agung karena Allah memilihnya sebagai momen bermulanya diturunkan Al-Qur’an, bermulanya pencerahan eksistensi makhluk dengan cahaya Al-Qur’an, dan penyelimutan kedamaian yang tercurah dari Allah untuk kehidupan manusia.

Keagungan malam ini seiring dengan keagungan Al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai mulia yang mengubah manusia, baik pada aspek keyakinan, persepsi, syari’ah, etika, yang semuanya itu mengandung kedamaian bagi jiwa manusia di atas muka bumi.

Keagungan malam ini juga dideskripsikan surah ini begitu menakjubkan, bagaikan mahrajan (festival) yang diperindah dengan turunnya para malaikat, dan secara khusus Jibril yang bertebaran antara langit dan bumi menyebarkan kedamaian.

Di malam ini ditetapkan setiap takdir dan urusan dengan penuh hikmah. Diletakkan asas-asas, nilai, dan timbangan-timbangan. Ditetapkan pula berbagai takdir yang lebih besar dari takdir individu, yakni takdir berbagai bangsa, rakyat, dan negara.

Patut disayangkan, manusia telah melalaikan keagungan malam Lailatul Qadr, melupakan hakikat peristiwa agung itu, peristiwa risalah. Tersebab kelalaian dan kealpaan, mereka kehilangan momen kebahagiaan dan kedamaian hakiki bagi jiwa, rumah tangga, dan masyarakat, selain itu mereka juga kehilangan nikmat Allah berupa momen terindah dalam hidup. Mereka begitu merugi, sangat merugi, meski terpenuhi segala sarana produksi dan kebutuhan hidup.

Bagi mereka yang merugi, cahaya indah yang menyinari jiwanya telah redup, momen kebahagiaan yang akan membawa mereka menuju kedudukan tinggi telah luput, dan kedamaian yang telah mengguyur jiwa dan hati telah hilang. Semua itu tak bisa ditukar dengan apapun.

Kita –orang orang beriman- diperintahkan agar tak melalaikan momentum ini, Lailatul Qadr. Rasulullah saw telah memberikan kita cara mudah untuk menghidupkannya agar jiwa kita selalu tetap tersambung dengannya, juga agar tetap tersambung dengan peristiwa semesta besar yang pernah terjadi pada malalm itu, turunnya Al-Qur’an. Karena itulah beliau dorong kita untuk menghidupkannya melalui Qiyam (shalat) malam itu, mencari-cari malam itu, mengintip-intipnya pada 10 hari terakhir Ramadhan. Sebagaimana dalam shahihain; “carilah Lailatul Qadr itu di 10 hari terakhir Ramadhan”, dalam riwayat lain di shahihain; “sesiapa yang Qiyam (shalat) malam Lailatul Qadr karena iman dan ihtisaban (mengharapkan balasan dari Allah) niscaya diampuni dosanya yang telah lampau”.

Islam bukanlah penampilan lahiriah semata, karena itulah Rasulullah saw menyatakan, “imanan wa ihtisaban”, agar Qiyam (shalat) malam tersebut betul betul dalam rangka menghidupkan makna-makna agung yang dikandung oleh Lailatul Qadr, agar terpenuhi tajarrud (totalitas) dan keikhlasan semata kepada Allah. Dengan itu ada hakikat tertentu yang ikut berdetak bersama jantung tatkala dilaksanakan Qiyam tersebut, hakikat yang terikat dengan tujuan dari diturunkannya Al-Qur’an.

Manhaj Islami (metode Islam) dalam tarbiyah (mendidik) adalah selalu mengaitkan antara ritual ibadah dengan hakikat aqidah dalam nurani, dan menjadikan ibadah sebagai wasilah (sarana) untuk menghidupkan hakikat-hakikat tersebut, menjelaskannya, dan mengokohkannya serta terjelmakan dalam gambaran yang hidup dan tidak berhenti semata pada level pemikiran.

Telah terbukti inilah manhaj satu-satunya yang paling layak untuk menghidupkan hakikat-hakikat tersebut, memberikannya ruang untuk bergerak di alam nurani dan perilaku. Sesungguhnya pemahaman teoritis semata akan hakikat-hakikat tersebut tanpa dukungan ritual ibadah takkan mengokohkannya, tidak pula menggerakkannya dengan gerakan yang benar-benar berpengaruh dalam kehidupan pribadi dan jama’ah (komunitas). Dan sesungguhnya pengaitan antara penyebutan momentum Lailatul Qadr dengan anjuran untuk Qiyam saat itu dengan “imanan wa ihtisaban” adalah bagian kecil dari manhaj Islami ini.

*dialihbahasakan dari Tafsir Surat Al-Qadr dalam Fi Zhilalil Qur’an, dengan penyesuaian seperlunya


No comments:

Post a Comment