Thursday, July 1, 2010

Membangun Akhlak Gerakan

Bismillahirrahmanirrahim

Ketika anda membaca judul ini, bisa jadi kesan yang anda tangkap adalah biasa saja atau klise. namun demikian, judul diatas ditulis sebagai jam weker, pengingat, alarm, atau apalah namanya, karena sebagaimana biasa, kita sering kali lupa dan lalai, atau mungkin kita tidak lalai-dalam konteks individu- tapi, bisa jadi kelupaan atau kelalaian orang lain, kemudian kita diamkan dan akhirnya kita anggap itu hal biasa, membuat kelalaian dan kelupaan itu menjadi kelalaian dan kelupaan komunitas, sehingga berujung pada sikap apatisme kolektif, dimana setiap orang mulai kehilangan kepekaan, sensitivitas, terhadap "sesuatu" (baca; something wrong) yang terjadi di sekitarnya.

Allah subhanahu wa ta'ala melaknat sebagian Bani Israil melalui lisan Daud & Isa alaihimassalam, disebabkan sikap apatisme kolektif ini, bahkan bukan saja sikap diam atau pembiaran yang mereka lakukan, tapi mereka secara bersama melakukan kemunkaran itu. Di sisi lain dalam kitabNya, Allah memuji sedemikian rupa dengan predikat khairu ummah, yakni mereka yang secara  kontinyu menjalankan mekanisme amar ma'ruf nahy munkar-setelah keimanan kepada Allah- sebagai tugas peradaban demi mengangkat derajat kemanusiaan.
Melemahnya sensitivitas dan kepekaan menjadikan kualitas khairu ummah terus -secara konstan- terdegradasi, bahkan bisa jadi sampai pada titik nadir, saat kedua mata terbuka tapi tak "melihat" (kebenaran), telinga terpekak tapi tak "mendengar", dan hati berdetak tapi tak "berfiqh".

Akhlak Gerakan

Al Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai gambaran tentang dinamika jiwa yg terekspresikan dalam perbuatan scara spontan & tanpa pikir panjang. dari definisi trsbut kt dapat menggarisbawahi satu hal penting, bahwasanya akhlak/prilaku yg tampak dalam keseharian yg muncul scara alamiah & spontan, merupakan gmbaran sebenarnya dair apa yg terjadi dlm jiwa manusia. Ini mnunjukkan, jika jiwa manusia sudah "tercelup" dengan celupan kebenaran, berarti yg terekspresikan adlah kebenaran, sebaliknya jika jiwa manusia tercelup dengan celupan kbatilan, maka prilakunya pun mngekpresikan kebatilan tersebut. Dari munthalaq inilah, kita memahami pntingnya mentarbiyah, mendidik, dan mencelup jiwa manusia dengan nilai kebenaran yang kuat yang bersumberkan wahyu, shingga wahyu menjdi ukuran dalam setiap perilakunya.

Berbicara tentang gerakan adalah berbicara tentang kumpulan manusia, tentang sekumpulan makhluk Allah yang telah Dia muliakan, dimana mereka bersepakat untuk melakukan sesuatu berlandaskan pemikiran dan ideologi yang satu, dengan cara seirama,  menuju ghayah yang puncak. Inilah yang harus kita garisbawahi, yakni tentang keberadaan kumpulan manusia tersebut sebagai kumpulan, komunitas, yang bermakna jumlah banyak, plural, jamak. Pada titik inilah, kita dapat memahami pentingnya membangun konstruksi kejiwaan kumpulan manusia tersebut di atas pondasi kebenaran, serta mencelup konstruksi tersebut dengan nilai kebenaran pula, sehingga seluruh gerak-gerik, cara, dan tujuan komunitas/kumpulan manusia tersebut, merupakan ekspresi dan gambaran spontan dari nilai kebenaran yang menjadi standar dari setiap unsurnya (baca: anggotanya). Inilah Akhlak Gerakan.

Mengapa?

Mengapa kita perlu menegaskan ulang hal ini? Moralitas Gerakan yang dibangun menemukan tantangannya ketika sebuah gerakan bergulat dengan realita sosial dan realita politik yang ekstrem. Tatkala lapangan nyata tak lagi mengukur pergulatan itu dengan nilai kebenaran, tak begitu nyata mana hak mana batil, mana baik mana buruk, sehingga tak begitu jelas differensiasi antar berbagai komunitas gerakan dari berbagai latarbelakang ideologi dan pemikiran tersebut. Masing-masing saling mempengaruhi, baik dalam arti positif atau negatif. Masing-masing memilih untuk berkompromi, baik dalam soal prinsip atau cabang.
Efek nyata dari pergulatan tersebut adalah saat tampak nyata berbagai fenomena ditubuh Gerakan yang menguatkan hal tersebut. Di saat realita politik kental dengan warna transaksional, kadangkala sadar atau tidak sadar Gerakan ikut terlibat realita tersebut dengan alasan kemaslahatan, atau terpengaruh dengan warna tersebut, atau pada tataran minimal, mengganggapnya “ah itu biasa”. Fenomena lain yang menjadi efek dari pergulatan nilai tersebut juga tampak, saat terjadi peralihan kepemimpinan pada organisasi gerakan, para anggotanya tak lagi malu-malu mencalonkan diri, ini memang suatu yang normal, fastabiqul khairat kata mereka, kita harus menyiapkan diri menjadi pemimpin, tambahnya. Tidak ada yang salah dari fenomena tersebut, tapi garis pembeda antar mana yang layak (baca: etis) dan tidak tampak semakin kabur, di kala sebagian mereka seakan melakukan banyak hal sedemikian rupa, menggalang kekuatan, mencari dukungan, menyerukan kampanye “pilih saya, I’m the best”, bahkan sampai pada tingkat berlatih gaya transaksional “level awal”, ayo kita selesaikan di meja makan, kata mereka, atau sebagian bilang, pilih saya nanti anda dapat posisi, sehingga yang tak dapat posisi pun berkata “oo-posisi”.

Hasanaatus Abraar, Sayyiaatul Muqarrabin

Hasanatus Abraar, Sayyiaatul Muqarrabin, demikian para ulama bertutur, kebaikan orang-orang abraar (baik), tampak buruk bagi para muqarrabin (sangat dekat kepada Allah). Apa yang biasa saja (normal) bagi orang biasa, bisa jadi tidak layak (aib) bagi orang bertakwa. Kawan, ini bukan soal boleh atau tidak, bukan soal halal atau haram, tetapi ini soal layak atau tidak layak. Tatkala sebuah Gerakan mengklaim membangun konstruksi gerakannya di atas kebenaran, bagaimana dia mendefinisikan “layak dan tidak layak” ini? Sudah seharusnya bagi Gerakan untuk memformulasikan, nilai-nilai apa yang menjadi standar etik bagi gerakan, sehingga nilai-nilai inilah justru yang menjadi kekhasan dan differensiasi gerakan tersebut, dan bukan tidak mungkin tatkala komitmen dan konsistensi terhadap nilai menjadi irama gerakan, semua orang takjub, terpesona bahkan jatuh cinta seraya berkata, kami ingin bergabung.

Wallahu A’lam.

Friday, April 9, 2010

Tentang Seorang Guru

Laki-laki jelang 30an itu pernah bertutur pada muridnya, 9 tahun usianya,

“Nak, suatu malam saya pernah bermimpi, saya sedang mencari ikan di danau yang luas, ikannya begitu melimpah. Saya mencoba mencari dan memancing ikan sebanyak-banyaknya, saya pun menggunakan jaring yang besar dan kuat, agar dapat menghasilkan ikan yang banyak dan melimpah

Namun, anehnya, dari sekian banyak ikan yang melimpah itu, ternyata sulit sekali untuk menjaring ikan-ikan tersebut, untuk mendapatkan satu ekor ikan butuh waktu lama, kegigihan yang luar biasa, serta kesabaran yang ekstra

Ternyata setelah tiga tahun saya duduk menunggu hasil tangkapan ikan, hanya satu yang berhasil saya dapatkan, ikan tersebut tampak berkualitas baik, berbeda dengan ikan-ikan yang lain.. saya pun pulang, saya merasa lelah, rasanya sudah merasa cukup hanya dengan satu ikan tersebut..

Tahukah kamu, nak? Maksud dari cerita saya? Satu ikan tersebut adalah kamu, ya kamu, dari sekian banyak murid-murid saya yang saya bina, ternyata hanya satu yang berhasil saya didik hingga selesai menuntaskan tugasnya..

Sepanjang 3 tahun saya bersabar, duduk bersama kalian dari mulai keadaan kalian yang tidak bisa membaca alqur’an hingga saat ini, saya berusaha untuk teguh, tidak goyah, tidak jenuh, saya hanya punya cita-cita agar kalian bisa menyelesaikan tugasnya, selesai 30 juz, hanya itu cita-cita saya, tidak yang lain. Ternyata Allah Ta’ala takdirkan, hanya satu yang tuntas, hanya kamu, ya hanya kamu..

Jejaring yang saya gunakan begitu kuat dan besar, berbagai cara saya tempuh agar kalian semua berhasil terangkat menuju kedudukan dan keutamaan yang tinggi itu, derajat Ahlul Qur’an.. 4 kali sehari saya duduk bersama kalian, hingga lantai marmer dingin itu menjadi saksi, serta atap kayu itu menjadi bukti, agar kelak saya di hadapan Allah bisa berapologi; Ya Allah, Allahumma fasyhad..

Saat ini, 3 tahun sudah waktu berlalu, saya merasa cukup sudah, saatnya saya berpindah tempat, kembali ke kampung halaman, menunaikan hak masyarakat atas saya yang belum sempat saya tunaikan

Nak, kamulah ikan itu, ikan yang berhasil saya angkat menuju derajat itu, maka manfaatkanlah, bersyukurlah, bergunalah untuk orang banyak, jagalah kedudukan dan keutamaan itu, jangan kau terperosok ke dalam jurang nista, karena nikmat itu begitu tiada tara. Jangan kau menangis dengan kepergianku, usiamu masih panjang, belajarlah dari banyak guru, siapapun, kapanpun, dan dimanapun, dan sesungguhnya kehidupan yang panjang ini, adalah guru hakikimu..”

Mengenang seorang guru yang begitu berjasa (1994-1997), Jazakamullah khairan ya ustadz dimanapun anda berada..