Monday, October 14, 2013

Inspirasi Arafah*

by: Faris Jihady

Tiga Tahun sudah bermukim di negeri ini, tanah Nejd, 900 km arah barat tanah Hijaz dimana Haramain berada. Tiga kali pula berturut-turut saya melewati hari-hari utama Dzulhijjah ini di Tanah Suci, berkesempatan menunaikan panggilan Allah, bersimpuh di Arafah, beratapkan langit Muzdalifah, dan mencium tanah Mina, sambil tak lepas menengadah ke langit yang menaungi tanah suci itu.

Tahun ini saya menyengaja tak berangkat dengan berbagai alasan pribadi. Saya kira tak ada rasa apa pun tatkala melewati hari-hari ini. Namun tak menyangka saat puncak Haji tiba, Hari Arafah, memoriku melayang kembali saat-saat di hari yang sama 3 tahun terakhir. Bersama lautan manusia yang memutih ihram di bawah matahari yang menyengat, tatkala airmata menetes tak henti, dan lisan tak lekas kering memohon ampun. Kerinduan pada detik-detik itu membuncah. Iri kepada mereka yang sedang menikmati saat-saat terdekat mereka dengan Rabb, melepas segala status, kedudukan, dan pandangan manusia.

Satu hal yang mungkin luput ketika lewati hari ini 3 tahun terakhir, tak begitu nyata dalam benakku apa yang Rasulullah lakukan saat-saat beliau lewati hari ini, ketika jalani haji terakhirnya, Wada’. Hari yang beliau jamin sebagai hari doa terbaik; “sebaik-baik doa, adalah doa hari Arafah” [1]. kesamaran apa yang beliau lakukan dalam benak saya, boleh jadi karena saya tak begitu penasaran, atau mungkin merasa sudah cukup ilmu, merasa paham tatacara haji, astaghfirullah…


Ketika kerinduan muncul, justru inilah yang mendorongku membuka kembali referensi yang merekam ekspresi, tindak, dan laku manusia terbaik itu, shallallahu ‘alayhi wa sallam, saat beliau lewati hari ini, hari dimana Allah Azza wa Jalla membanggakan hamba2Nya yang berdoa kepadaNya di hadapan  malaikat seraya berfirman, “Apa yang mereka minta?” [2] dan Allah Maha Tahu akan pinta hamba2Nya.

Perhatianku jatuh pada hadits yang ditutur oleh Jabir ibn Abdullah ra, tatkala ia ditanya bagaimana haji Rasulullah saw, ia bercerita sangat panjang, beberapa lembar Shahih Muslim dan Sunan Abi Daud merekam huruf-huruf tersebut. Aku tak begitu berani cantumkan semua disini, khawatir lancang karena tidak tepat mengantarkan makna yang ditutur oleh Jabir, sahabat agung itu, namun hanya beberapa pesan dan fragmen pada momen besar terakhir nabi, Haji Wada’ tatkala beliau menyampaikan khutbahnya yang terkenal itu, khutbah Wada’ di Arafah.

Kebanyakan sahabat saat itu belum memahami maksud dari istilah haji wada’, istilah itu memang sudah dikenal, namun mereka tak begitu paham apa yang dimaksud wada’ (perpisahan disini), ketika beliau wafat sadarlah mereka bahwa itu adalah pesan-pesan perpisahan nabi sebelum beliau wafat, sebagaimana dituturkan Ibn Umar ra dalam Shahih Bukhari.

Kira-kira menurutmu hal-hal apa yang akan menjadi pesan perpisahan manusia agung itu, shallallahu alayhi wasallam? Apakah ia akan mengucapkan selamat tinggal? Apa ia akan bicara tentang harta warisan layaknya manusia umumnya? Ataukah kekuasaan? Atau apa?

Mari kita tengok pesan pertama beliau dalam fragmen ini, tatkala Jabir ra bertutur; [3]

ketika matahari mulai tergelincir (tengah hari), beliau menaiki Qashwa (untanya), mengendarainya hingga tiba di tengah lembah, kemudian bertahmid dan memuji Allah dan memulai khutbahnya; “sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan haram ini, di tanah haram ini”.

Allah menggerakkan lisan nabiNya untuk menyampaikan awal dari pesan terakhirnya, tentang keharaman dan kesucian harta dan darah muslim, sesuci dan seharam hari itu, bulan itu dan tanah haram itu. Betapa dalam dan kuat pesan ini, menyetarakan keharaman darah dan harta dengan haramnya waktu dan tanah haram itu. Dengan kata lain, penumpahan darah dan perampasan harta muslim, setara dengan penistaan terhadap kesucian waktu dan tanah haram. Betapa kuat pesan ini, dan betapa jauhnya kita –saat ini- melanggar pesan ini.  Darah tumpah begitu murah, harta terampas begitu mudah. Hari-hari kita nyaris akrab dengan pembantaian di sana dan di sini. Ya Allah.. pesan pertama perpisahan beliau, justru menjadi hal yang paling sering terlanggar.. Beliau, manusia agung itu tak berbicara tentang pribadinya, tapi berbicara tentang kita; ummatnya. Pesan penting yang mengekspresikan kekhawatiran tentang generasi berikut…

Pesan tersebut beliau kuatkan dalam tutur berikutnya;
“…ketahuilah bahwa segala sesuatu dari masa jahiliyyah adalah batal di bawah kakiku ini, penuntutan darah era jahiliyyah batal…”

Sebagian sahabat menafsirkan maksud beliau saw, “dahulu tatkala beliau disusui di Bani Sa’ad, mereka diperangi oleh Bani Hudzail”. Beliau membatalkan segala apa yang menjadi kesepakatan terkait darah pada era jahiliyyah, demi kedamaian generasi masa depan. Saya –kalau boleh lancang menyimpulkan- perilaku jahiliyah tak terbatas oleh waktu saja, namun ketika darah muslim tertumpah dan harta masih terampas, maka sifat jahiliyyah masih ada.

Berikutnya, beliau berpesan;
“…Riba Jahiliyyah batal (haram) hukumnya
mungkin bagi sementara orang agak aneh, nampak sekilas tak cocok dengan situasi kesakralan Arafah, beliau pesan tentang hubungan ekonomi antarmanusia pada pesan perpisahannya.

Penyebutan keharaman Riba bukanlah pertama kalinya semata dalam peristiwa ini, namun sudah ada ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menegaskan keharaman Riba sebelummya, namun beliau tegaskan lagi dalam pesan-pesan perpisahannya. Apa gerangan alasan penegasan lagi dalam pesan haji, khutbah wada’ ini? Boleh jadi –wallahu a’lam- lagi-lagi karena ini pesan terakhir, perhatian nabi terhadap berbagai aspek kehidupan muslimin pasca beliau pergi, tak semata soal ‘ubudiyah (penghambaan) kepada Allah semata, namun juga soal hubungan sosial sebagaimana tersebut pada pesan pertama, dan hubungan ekonomi antarmanusia secara adil, sebagaimana disiratkan pesan terkait Riba ini.

Selanjutnya, pesan beliau,
“…takutlah kepada Allah dalam urusan wanita (isteri2), sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan menghalalkan mereka dengan kalimat Allah..”
Anda, saya, dan kita semua bisa memahami pentingnya pesan ini, tentang rumah tangga. Ah, mungkin saya –practically- belum begitu paham karena belum mengalaminya, namun saya pikir kesimpulan saya tentang pentingnya berpandai-pandai bermuamalah dengan isteri sesuai kewajiban dan hak yang ditetapkan syariat, tak berbeda dengan saudara-saudara saya yang sudah berumahtangga. Bagi para isteri, anda sangat spesial, karena anda disebut-sebut dalam pesan perpisahan nabi dihadapan –dalam sebuah riwayat- 10 ribu sahabatnya.

Rangkaian pesan-pesan perpisahan tersebut ditutup dengan fragmen berikut,
“…sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah kalian sesuatu yang kalian takkan pernah tersesat selama kalian memegangnya erat; Kitabullah. Dan kalian kelak akan ditanyai tentangku, kalian akan berkata apa tentangku?”

Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau –Ya Rasulallah- telah menyampaikan, melaksanakan, dan menasehati”.

Apa respon beliau? Beliau mengangkat telunjuknya ke langit seraya berkata;

Allahumma Isyhad… Ya Allah saksikanlah
Allahumma Isyhad… Ya Allah saksikanlah
Allahumma Isyhad… Ya Allah saksikanlah

Fragmen dialog ini -menurutku- mengharubiru, semestinya membuat menangis, atau minimal terharu bagi siapa saja yang membaca dan mengimajinasinya. Siapa yang ragukan kejujuran dan ketulusan nabi, shalllallahu alayhi wa sallam dalam dakwah setelah sekian lama? Namun beliau masih menanyai pengikutnya. Ya Allah..

Ada yang ragukan ketulusan para sahabat dalam ber-ittiba’ ? siapa di antara kita yang pernah mengulang kata-kata para sahabat ini; “Kami bersaksi bahwa engkau –Ya Rasulallah- telah menyampaikan, melaksanakan, dan menasehati” . kita justru sering beralasan, “saya belum tahu”, “saya belum siap”, pada hal-hal sederhana yang menjadi kewajiban tiap muslim. Kesempurnaan agama telah ditegaskan Allah dalam QS Al-Maidah ayat 3, yang bermakna telah selesainya tugas nabi dalam membimbing, menjelaskan dan mengarahkan.

“Allahuma Isyhad…” beliau ucapkan tiga kali berturut-turut di hari Wada’ (perpisahannya), mengekspresikan kuatnya ketulusan dalam menyampaikan dakwah dan membimbing manusia, serta paripurnanya tugas beliau tak lama lagi. Adakah di antara kita –khususnya para penyampai kebaikan- menegaskan ketulusan jiwa dengan kata tersebut; “ya Allah saksikanlah” ?

Selepas khutbah bersejarah, didirikanlah shalat zhuhur dan ashar dengan dua iqamah berturut-turut, kemudian –cerita Jabir,

“…, kemudian berdoa dengan berdiri sekian lamanya hingga terbenam matahari”.
Ya, anda garisbawahi, beliau berdoa sangat panjang, selepas zuhur dan asar yang ditunaikan di waktu zuhur, beliau berdoa, dalam keadaan berdiri. Sampai kapan? Hingga terbenam matahari. 

Semoga shalawat serta salam selalu tercurah kepada beliau, keluarganya, dan pengikutnya hingga akhir masa, Allahuma shallii wa sallim wa baarik ‘alaihi..

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar
La Ilaaha illa Allahu huwa Allahu Akbar

Riyadh, sore 9 Dzulhijjah 1434H


___________________________________________________________________________
*catatan ini hanya renungan ringan, menggali inspirasi dari pesan-pesan nabi di hari Arafah, tidak menggambarkan semua apa yang diriwayatkan terkait peristiwa Wada’.
[1] Hadits Hasan diriwayatkan Imam AtTirmidzi
[2] Hadits Shahih diriwayatkan Imam Muslim, dan Nasa’i
[3] Kisah Haji Wada’ diceritakan panjang lebar dalam hadits Jabir ibn Abdullah yang tercantum dalam Shahih Muslim no 1218, dan Sunan Abi Daud, Kitabul Manasik, bab Shifat Haji Nabi, no 1905

3 comments:

  1. ralat sedikit: "900 km arah barat tanah Hijaz", yang benar: "900 km arah timur tanah Hijaz".

    ReplyDelete
  2. alllaahummaa shalli wa sallim wa baarik 'alaih T_T

    ReplyDelete
  3. اللهم صلِّى على محمَّد , terima kasih kang atas catatan pengingatnya.

    ReplyDelete