Tuesday, November 12, 2013

Catatan Ringan tentang Revolusi Suriah*

oleh: Faris Jihady

Revolusi Suriah telah berlangsung lebih dari dua tahun sejak awal meletusnya pada Maret 2011. Perlawanan rakyat Suriah terhadap rezim diktator bertangan besi melahirkan tragedi berkepanjangan yang belum diketahui kapan akan berakhir. Tragedi yang mengorbankan jiwa dan materi yang tidak sedikit, tercatat per Mei 2013, lebih 69 ribu jiwa telah menjadi korban tewas, sementara jutaan pengungsi meninggalkan negaranya menuju perbatasan Suriah-Yordania, atau Suriah-Turki. Belum lagi porak-porandanya infrastruktur dan struktur sosial, membuat rakyat Suriah tak lagi berpikir bagaimana membangun kehidupan, disebabkan hilangnya rasa aman dan sumber mata pencaharian.

Sorotan kamera dan liputan media internasional serta berbagai analisisnya mengiringi revolusi ini sebagai kelanjutan Arab Spring yang belum selesai. Boleh jadi bagi sebagian orang, terutama yang jauh dari Timur Tengah cerita tentang Suriah sudah biasa, dan bahkan bosan, serta menganggap Revolusi Suriah semata konflik politik antara Pemerintah dan Oposisi yang belum menemukan titik temu tawar menawar.

Jelang akhir Agustus 2013, ketika mata dan perhatian dunia banyak tertuju kepada Mesir yang sedang mengalami kemunduran demokrasi dan kemanusiaan luar biasa, pembantaian yang di luar batas kemanusiaan terjadi lagi –setelah sekian kali terjadi-  membuat mata dan perhatian dunia yang sejenak focus pada Mesir, kembali menoleh kepada tetanggany yang tak jauh dari sana, Suriah. Di kota kecil, Ghautah pinggiran Damaskus, pasukan rezim Basyar Assad membantai rakyatnya menggunakan senjata kimia, dengan tujuan menaklukkan wilayah yang sudah dikuasai oposisi. Penggunaan senjata kimia yang diduga adalah Gas Sarin, mengorbankan ribuan jiwa; kurang lebih 1400 jiwa meninggal, 450an diantaranya adalah anak-anak. Dalam tayangan yang diunggah ke Youtube, para korban meninggal secara perlahan, tanpa darah dan luka dengan wajah yang pucat.

Suriah kembali sorotan pasca pembantaian Ghauthah, isu ini membuat Dunia Internasional kembali mengecam, mendorong Pemerintahan Amerika Serikat menggalang opini dunia dan dukungan sekutunya untuk menyerang Suriah yang menurutnya bertujuan melumpuhkan kekuatan militer rezim diktator Assad. Beberapa sekutunya tergerak mendukung; Prancis secara terang-terangan mendukung serangan, sedangkan Turki yang selama ini menjadi salah satu pihak sentral dalam konflik Suriah dengan dukungan terbuka terhadap oposisi, bahkan mendorong AS untuk segera merealisasikan invasinya, Inggris tak jadi mendukung Amerika karena tak dapatkan legitimasi dari parlemennya. Negara-negara Besar pun terbelah, PBB berusaha mencegah terjadinya serangan AS ke Suriah. Sedangkan Rusia dan Cina, sebagai sekutu dan pelindung utama Suriah, menentang keras rencana invasi ke AS, yang membuat polarisasi antar negara adidaya di PBB semakin nampak. Pada saat Dunia Internasional berdebat keras, rakyat Suriah terus mengalami pembunuhan, pembantaian dan perampasan terhadap hak asasinya yang paling sederhana; hak untuk hidup bebas, tanpa tahu masa depan mereka akan seperti apa.

Kilas Sejarah

Meletusnya Revolusi Suriah bukanlah semata terjadi secara spontan sebagai efek domino Arab Spring di Tunisia dan Mesir sebelumnya, perlawanan rakyat Suriah memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Sejak terpecahnya negara-negara Arab sebagai efek Perjanjian Sykes-Picot pada 1920, dan merdekanya Suriah pada tahun 1946, Suriah pernah menikmati kebebasan dan demokrasi hanya sebentar saja, selebihnya kehidupan sosial politik selalu dalam situasi tak stabil dimana kudeta silih berganti terjadi, sehingga pergantian kekuasaan selalu diawali dengan kekuatan senjata dan darah. Kudeta terakhir pada 1963 ketika Partai Ba’ath yang berideologi sosialis meng-kudeta pemerintahan hasil demokrasi dan berkuasa dengan tangan besi, paradoks ideology terjadi, dimana pada saat itu pemerintah berkuasa secara terang-terangan memerangi symbol agama, dan menyerukan ideology sosialisme, padahal 80% rakyat Suriah adalah muslim sunni yang kuat memegang teguh agama dan menjadi tempat lahir para ulama sejak masa lalu. Tak lama setelah kudeta Partai Ba’ath, pada 1970 sekelompok tentara yang berasal dari sekte ekstrim Syiah Nushairiah –diantaranya Hafez Assad- mengkudeta pemerintahan, menunggangi Partai Ba’ath, dan menguasai negara secara tunggal serta menempatkan kelompoknya dari sekte Nushairiyah menguasai tentara dan pemerintahan, hingga kini dengan mewariskan kursi kepresidenan kepada anaknya Bashar Assad pada tahun 2000 tak lama sebelum sang ayah meninggal.

Sepanjang era 1970-1980an, pengokohan terhadap kekuasaan rezim tirani minoritas begitu kuat. Mungkin sebagian orang bertanya; mengapa kelompok minoritas bisa berkuasa kuat begitu lama atas kelompok mayoritas? Jawabannya nampak pada beberapa upaya yang dilakukan antara lain;
  • Memperalat kelompok dan institusi ulama yang bisa didekati, agar bisa memberi legitimasi atas nama agama bahwa pemerintahannya adalah kekuasaannya yang legal.
  • Pengubahan Konstitusi negara yang mewajibkan Presiden harus beragama Islam, namun upaya ini mendapat tentangan keras dari mayoritas rakyat Suriah, sehingga upaya ini tak jadi dilakukan.
  • Penarikan guru-guru yang berkomitmen agama tinggi, yang mengajar di Sekolah Menengah Atas dan menempatkan mereka di pos-pos selain mengajar, dengan tujuan menghilangkan pengaruh agama pada generasi muda.

Upaya-upaya tersebut tentu saja mendapat tentangan keras dari mayoritas rakyat Suriah, terutama dari kalangan Gerakan Islam -Al-Ikhwan Al-Muslimun- yang notabene memiliki basis sejak awal kemerdekaan Suriah dan memilki kepedulian pada perlawanan terhadap penindasan. Tak lama setelah itu, ditangkap seorang tokoh IM, Marwan Hadid, yang berujung pada kematiannya akibat penyiksaan, yang mendorong pada demonstrasi murid-muridnya memprotes penyiksaan tersebut, hal ini direspon oleh Pemerintah Hafez Assad dengan pembantaian terhadap seluruh anggota IM dan keluarganya, yang dalam sejarah dikenal dengan Pembantaian Kota Hamah pada 1982, yang mengakibatkan ribuan orang tewas.  Sejak itu hingga sekarang, rakyat Suriah dalam tekanan, aktivitas Gerakan Islam dibasmi habis, mayoritas tokohnya eksodus keluar. Pembantaian Hamah 1982 melahirkan trauma mendalam dalam benak rakyat selama puluhan tahun berikutnya.

Arab Spring pada 2011 seakan menjadi pemantik meletusnya api dalam sekam, dan memecah benteng ketakutan yang selama ini tertanam dalam benak rakyat Suriah. Bermula dari penangkapan terhadap anak anak remaja yang menulis graffiti di tembok “AsSya’b Yuriid Isqath Nizham” (Rakyat ingin pemerintah jatuh), yang mendorong rakyat untuk turun jalan melakukan demonstrasi damai, diiringi seruan dan penggalangan opini di dunia maya. Namun protes dan demonstrasi damai di beberapa kota secara serentak sama sekali tidak direspon dengan membuka ruang pintu dialog, namun langkah represif berupa penembakan dan pembunuhan terhadap demonstran, sehingga menimbulkan eskalasi kemarahan dan demonstrasi rakyat di seluruh kota-kota Suriah. Upaya Bashar Assad untuk menenangkan rakyatnya dengan berpidato di akhir Maret 2011 dengan menjanjikan reformasi politik, ternyata basa-basi belaka dan tak menghentikan gelombang protes dan perlawanan terhadap rezim.

Mengapa tak kunjung selesai

Keberlangsungan Revolusi rakyat Suriah yang sudah melewati dua tahun sejak awal meletusnya dan hingga kini belum diketahui penghujungnya, memunculkan pertanyaan sederhana: mengapa ia berbeda dibandingkan eksprimen Tunisia dan Mesir? Mengapa ia tak kunjung selesai? Beberapa analisa sederhana mungkin bisa menjawab;
  • Tema sentral dari Revolusi Suriah adalah kemarahan rakyat terhadap penindasan dan kezaliman selama puluhan tahun ditekan dibawah dictator bertangan besi, dan tuntutan sederhana untuk hidup secara terhormat, adil dan bebas. Tema ini tak jauh berbeda jika dibandingkan dengan Revolusi Tunisia dan Mesir. Namun ada variabel lain yang mempertajam warna konflik ini, yaitu garis sectarian yang dianut rezim, yang notabene merupakan representasi kelompok ekstrim minoritas Syiah Nushairiyah yang secara populasi hanya 10% dari rakyat. Ini menambah penyebab konflik, ia bukan semata pertarungan politik, atau perlawanan terhadap tiran, ia adalah konflik ideologis antara Sunni sebagai kaum mayoritas yang tertindas, dengan kelompok Syiah Nushairiyah sebagai tirani minoritas. Sehingga dapat dipastikan, kelompok tirani minoritas akan mati-matian mempertahankan kuasanya.
  • Revolusi Suriah jika diamati dari kacamata yang lebih besar, merupakan mainan para raksasa dalam istilah pengamat Timur-Tengah “Lu’batul Kibaar”. Rezim Assad pasca sang Ayah –Hafez- wafat, sepenuhnya secara politik dan militer bergantung pada dua kekuatan besar; pada level Dunia adalah Rusia, pada level regional adalah Iran. Satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang masih menjadi sekutu Rusia adalah Suriah, selebihnya sudah di bawah kendali AS. Tentu saja Rusia akan sebisa mungkin mempertahankan pengaruhnya di kawasan. Sedangkan Iran dengan sindrom Heroisme yang memposisikan diri sebagai symbol resistensi terhadap Barat, menjadi pendukung utama rezim lebih banyak disebabkan kesamaan ideologi, karenanya Iran tak segan memasok senjata dan tentara, diikuti oleh faksi agama dan militer di Libanon –Kelompok Hizbullah- yang secara terang-terangan mengirim ribuan tentara untuk ikut berperang bersama rezim. Di sisi lain Amerika Serikat dan sekutunya terus menyerukan dialog dan perdamaian, bahkan ikut mengecam pembantaian rezim terhadap rakyatnya. Namun tampaknya hal tersebut hanya manis di bibir belaka, langkah-langkah politisnya lebih cenderung bagaimana mengamankan posisi sekutu utamanya di kawasan tersebut, Israel. Tidak sebagaimana responnya ketika Revolusi Libya, dimana secara langsung mereka membantu secara militer.

Dari kenyataan di atas, secara faktual tampaknya diperkirakan konflik akan menemukan titik akhirnya ketika sudah terjadi deal kesepakatan antara para “raksasa” tersebut; kesepakatan antara AS dan sekutunya di satu sisi, dengan Rusia, Iran dan sekutunya di sisi yang lain, tentang formula masa depan politik Suriah. Diperkirakan mereka sepakat akan tentang;
  • Bashar Assad sudah tidak mungkin dipertahankan, legitimasinya di mata publik sudah jatuh, tinggal bagaimana caranya agar siapapun yang mengambil tampuk kekuasaan pasca-Assad adalah orang yang disetujui oleh kedua belah pihak. Tentu saja hal ini sangat penting, mengingat jika kekuasaan politik diserahkan kepada mekanisme demokrasi secara penuh, bisa dipastikan kaum Islamis yang akan naik, hal yang dikhawatirkan oleh keduabelah pihak, terutama AS demi keamanan Israel.
  • Scenario pasca Assad, jika realita tidak bisa dielakkan bahwa kaum Islamis akan naik ke panggung, maka sebelum itu penghancuran secara massif dan terus menerus oleh rezim terhadap infrastruktur dan kehidupan sosial menjadi pilihan, sehingga siapapun yang naik kelak, akan sibuk puluhan tahun ke depan dalam usaha pembangunan kembali yang porak poranda, tak sempat berpikir tentang hal lain, semisal; lepas dari pengaruh Syiah Iran, terlebih pembelaan terhadap negara tetangganya, Palestina.

Salah satu penyebab berlarut-larutnya perlawanan, adalah tidak bersatunya kaum perlawanan (oposisi). Secara umum perlawanan ada dua jenis; 
  • perlawanan politik; umumnya mereka menggalang opini di luar negeri, dan 
  • perlawanan militer; mereka yang berjuang di dalam negeri. Perlawanan militer pada awalnya tak terkoordinir, bersifat sporadis, bermula dari sebagian tentara Sunni yang desersi dari militer kemudian berbalik melawan pemerintah. Di sisi lain secara sosial tidak ada satu gerakan yang mengakar, terorganisir dan dominan di masyarakat, sebagai efek terhadap pemberangusan terhadap gerakan sosial apapun, -terlebih gerakan Islam-di masa lalu. Seiring waktu, pada medio 2011-2012 perlawanan bersenjata bisa terkoordinir dengan menamakan diri sebagai Free Syrian Army (Al-Jaisy As-Sury Al-Hurr) sebagai kelompok yang dominan di lapangan, namun seiring waktu kelompok perlawanan terpecah akibat perbedaan latar belakang, yang kemudian meruncing. Saat ini tercatat, ada lebih dari 9 Brigade bersenjata dari kalangan oposisi, yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda secara pemikiran. Realita ini sedikit banyak memperlambat perlawanan, di lapangan saja masih berbeda, maka masih sulit bagi mereka untuk duduk bersama membicarakan masa depan Suriah.


Kita dan Suriah
Hakikat peristiwa apa yang terjadi di Suriah belum menjadi kesadaran kolektif warga Dunia yang jauh dari kawasan konflik, begitupula di Indonesia. Kesadaran tentang konflik di Suriah masih menjadi terbatas pada kaum-kaum terpelajar yang agamis, secara khusus pada aktivis Islam. Hal ini patut disayangkan, semestinya kepedulian tentang Suriah dapat direalisasikan pada beberapa level;
  • Level kesadaran publik, terlepas unsur-unsur sektarian dan fanatisme kelompok pada Revolusi Suriah, kepedulian terhadap Suriah semestinya dibangun di atas alasan paling mendasar; alasan kemanusiaan dan pembelaan terhadap kebebasan, keadilan dan hidup secara terhormat untuk menentukan nasibnya sendiri. Kepedulian dapat diwujudkan dengan memperbaharui isu-isu terbaru, penggalangan opini, dan sumbangan materi melalui lembaga-lembaga kemanusiaan terpercaya yang ditujukan kepada korban pengungsi akibat konflik.
  • Level kesadaran pemerintah. Arah kebijakan politik Luar Negeri Indonesia yang menganut Politik Bebas Aktif, semestinya tidak membuat Indonesia menjadi safety player (bermain aman), dengan cara usaha tk memihak,  membuat justru tampak lemah dalam pembelaan terhadap isu kemanusiaan yang terzalimi. Sudah semestinya Pemerintah Indonesia dapat bersikap lebih proaktif, mendorong terwujudnya kehidupan global yang berkeadilan, sesuai dengan kapasitas Indonesia sebagai negara Islam terbesar, hal ini justru dapat meningkatkan daya tawar Indonesia di Dunia Internasional


Wallahu a’lam.
____________________________________________________________________
*catatan ini pernah dimuat pada buletin Pencerah Negeri, Depok, September 2013. catatan ini banyak merujuk pada kumpulan artikel yang terangkum dalam albayan magazine http://albayan.co.uk/page.aspx?ID=55

1 comment:

  1. yg bagian bawah, rata kanannya mas di pasin biar tambah cakep :D

    ReplyDelete