Wednesday, February 27, 2013

Aksiomatika Perlawanan*


Prof Dr Imaduddin Khalil [1]
Translated by: Faris Jihady, Lc

Manusia kadangkala dalam beberapa situasi yang paradoks, terpaksa untuk membicarakan perkara aksiomatis.

Amerika Serikat sebagai sebuah negara takkan pernah berdiri kalau bukan karena perlawanan rakyatnya terhadap penjajahan Inggris. Negara-negara Amerika Latin takkan terbentuk kalau bukan karena perlawanan bangsa mereka terhadap penjajahan Spanyol-Portugis. Bahkan Vietnam takkan pernah merdeka kalau bukan perlawanan terhadap Amerika dan penolakan untuk menyerah.

Sesungguhnya perlawanan rakyat merupakan hak legal yang dibenarkan di setiap masa dan tempat. Ia juga merupakan hal yang disepakati dan konsensus secara aksiomatis. Tiap kali ada penjajahan terhadap negeri tertentu, di sana pasti ada usaha tak terputus untuk melawan penjajahan tersebut. Ini merupakan perkara final baik dalam konteks agama dan sipil, sudah pula menjadi tradisi internasional dan aksiomatika politik.

Sementara itu, berdasarkan banyak variabel dan peristiwa beberapa puluh tahun terakhir; mulai dari Tatanan Dunia Baru (New World Order), Perang terhadap Terorisme (War on Terror), dan teoritisasi yang mendukungnya, seperti; tesis Fukuyama (The End of History/Akhir Sejarah), Huntington (Benturan Peradaban/Clash of Civilization), nampak bahwa Kamus Konsensus Aksiomatis tadi hendak dimusnahkan, diubah, atau diganti dengan Kamus baru yang tak memiliki dasar historis atau tradisi internasional yang sudah disepakati berabad-abad yang lampau.


Kamus ini mencakup setiap kosakata yang memberi Kutub Tunggal -yang diperankan oleh Amerika Serikat- kewenangan untuk memegang leher Dunia, memaksakan kehendaknya kepada setiap bangsa, menganggap setiap perlawanan yang legal sebagai aksi terorisme yang berhak untuk dikejar dan dimusnahkan, serta mengumpulkan kekuatan-kekuatan lain sebagai sekutu, dimana mereka menganggap Amerika Serikat sebagai pemilik kata pertama dan terakhir dalam menentukan roda perjalanan kemanusiaan.

Jika kita merujuk kepada Filosof terkenal Thomas Hobbes dan teorinya dalam “Leviathan” [2] yang berporos pada hakikat bahwa negara-negara adidaya jika hendak memaksakan kedudukannya yang terhormat kepada Dunia, maka negara tersebut wajib untuk menggunakan segala tingkatan kekuatan dan terror demi mewujudkan hal tersebut.

Amerika Serikat sudah memulai dengan sungguh-sungguh, sejak era Ronald Reagan konsep Hobbes ini sudah mulai dipraktekkan, menjadikan teori Teror Negara sebagai titik tolak semua kebijakan luar negerinya. Disinilah kita –sekali lagi- menghadapi situasi yang paradox, dimana dibenarkan Teror Negara untuk memaksakan tujuan-tujuannya dengan segala bentuk tingkatan kekerasan dan kekuatan, pada saat yang sama tak dibenarkan bagi bangsa-bangsa tertindas untuk membela dirinya dan melawan kekuatan yang menjajah tanah mereka dan menggunakan segala metode terlepas apakah sesuai dengan system nilai agama, etika, ataupun kemanusiaan. Ini satu hal yang saya ingin memulai dengannya dalam artikel ini.

Kedua, Tatatan Dunia Baru akan memimpin dunia seluruhnya, dengan kekuatan instrument globalisasi serta teori Akhir Sejarah dan Benturan Peradaban yang mendukungnya, menuju situasi yang tak terbayangkan. Situasi hilangnya aspek agama, moral dan kemanusiaan. Kehidupan menjadi tampak kulit saja, ia berubah semata menjadi perlombaan memperbanyak materi, meninggikan bangunan, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar semata. Manusia –laki dan perempuan- berubah menjadi produk untuk iklan, barang yang diperjualbelikan, sementara materi menjadi zat yang dituhankan. Kehidupan kehilangan citarasanya yang jernih, pesonanya yang indah, sedangkan suara-suara yang menyerukan pengembalian sistem nilai yang terabaikan, menjadi terkunci dan mati kehabisan nafas.

Dunia Islam secara khusus adalah pihak yang paling menderita akibat apa yang dialami Dunia saat ini, karena ia akan kehilangan segalanya; keistimewaan agama, moral dan kemanusiaannya, serta kedudukannya dalam peta geografi dunia di mana ia tak diperkenankan untuk berdaulat atas tanahnya sendiri, berdasarkan logika Darwinisme; yang bertahan adalah yang terkuat, bukan yang paling shalih (layak). Kecuali mereka pemilik kuku yang mencengkeram dan taring yang menggigit melintasi benua, Dunia Islam bagaikan burung unta yang keluar mencari dua tanduk, namun justru pulang kehilangan dua telinga.

Dalam situasi seperti ini, perlawanan kaum Muslimin secara mutlak menjadi kemestian yang darurat, sebagaimana mempersenjatai diri dengan segala instrument perlawanan; ideologis, pemikiran, pendidikan, sosial dan spiritual juga merupakan keharusan. Persoalan ini dalam ruang lingkupnya yang lebih universal menjadi Tantangan Peradaban, baik kita terlibat di dalamnya atau tidak. Sesungguhnya luka yang menganga pada tubuh Kaum Muslimin terlalu banyak, jika mayoritas kaum Muslimin tak memproteksi dirinya dengan perlawanan dan penolakan niscaya akan hancur dan musnah.

Jika kita hadirkan kosakata Kamus Fiqh yang dimiliki ummat ini, sesungguhnya terminologi Jihad Daf’ (Jihad Defensif) dengan kekuatan senjata merupakan kewajiban jika negeri-negeri Islam ingin bebas tanah dan penduduknya dari penjajahan. Sedangkan Jihad Thalab (Jihad Ofensif) menuju keluar negeri-negeri Islam, hendaknya mengedepankan pedoman berupa interaksi dengan orang lain dengan kekuatan Masyru’ Fikri (Proyek Pemikiran), atau apa yang disebut dengan Masyru’ Hadhari Badil (Proyek Peradaban Alternatif), bukan dengan kekuatan senjata, karena jurang perbedaan kekuatan sangat besar, sedang hasilnya sudah pasti berakhir pada kegagalan.

Sesungguhnya terbebasnya kemanusiaan, reformulasi tujuan kehidupan, usaha keluar dari jurang yang sempit yang membuat manusia sulit bernafas, dan pembenahan mandegnya Peradaban Materialis Barat, takkan berhasil –sebagaimana ditegaskan pemikir Barat sendiri- kecuali dengan Masyru’ Islami (Proyek Islami) yang memproteksi diri ummat Islam, membenamkan proyek yang lain (Barat-ed) dengan cara-cara yang mungkin, bukan dengan logika mustahil yang menggunakan kekuatan bersenjata.

_____________________________________________________________________________________________

*Aksiomatika berarti; hal yang sudah jelas kebenarannya, self evidence, tak perlu dibuktikan. Artikel ini diterjemahkan bebas dari judul asli “Fii Badiihiyyat Al-Muqawamah” dalam majalah Al-Mujtama’ Online, http://magmj.com/index.jsp?inc=5&id=12295&pid=3454&version=187#.USxl33F0m7U.twitter

[1] Pemikir, Sejarawan dan Filosof Muslim asal Irak, Guru Besar pada beberapa Universitas di Timur Tengah.
[2] Leviathan adalah buku yang ditulis oleh Filosof Barat Thomas Hobbes pada tahun 1651 M, berfokus pada teori kontrak social, ia mengemukakan teori kekuasaan absolute untuk mengendalikan masyarakat. http://en.wikipedia.org/wiki/Leviathan_(book)

No comments:

Post a Comment