Tuesday, January 6, 2015

ISLAM MEMANDANG MUSIBAH

Faris Jihady, Lc

Merealisasikan ibadah kepada Allah Ta’ala adalah tujuan akhir dari kehidupan. Siapa yang dapat ‎mencapainya dengan sempurna dia-lah yang pemilik predikat terbaik, taqwa.‎

Dalam mencapai predikat terbaiknya, manusia dalam hidupnya diatur oleh Sunnatullah (hukum-‎hukum Allah yang berlaku di alam semesta), dan di antara sunnatullah yang merupakan ‎kemestian dan keniscayaan adalah “hidup adalah ujian dan cobaan”.‎

Secara riil kehidupan manusia di beberapa waktu terakhir ini –medio 2014- dikejutkan oleh ‎berbagai peristiwa yang tidak mengenakkan, bahkan menyedihkan, mengejutkan, dan membuat ‎kehilangan.‎

Peristiwa-peristiwa tersebut sebagian terjadi secara kolektif, massif dan terekam oleh memori ‎masyarakat. Hal ini tentu saja memukul kesadaran dan kejiwaan manusia, meskipun ia bukan ‎menjadi bagian dari korban peristiwa-peristiwa tersebut.‎

Rentetan peristiwa tersebut sudah seharusnya mengajak akal dan hati manusia muslim secara ‎sadar untuk berpulang pada panduan Islam memandang kehidupan dan musibah. Kehidupan dan ‎musibah,  dua kata yang tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang.‎

Islam memandang musibah adalah bagian dari sunnatullah (hukum Allah yang berlaku pasti di ‎alam semesta) yang dianggap sebagai ujian dan cobaan, demi menaikkan derajat dan kualitas ‎kehidupan manusia, baik secara spiritual (ketakwaan) maupun material.‎

Hal ini ditegaskan AlQur’an; ‎
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
‎“dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan, agar menguji kalian siapa yang terbaik ‎amalnya” (QS AlMulk; 2)‎
Dari sini dapat dipahami, bahwa kematian dan kehidupan, kepemilikan atas sesuatu dan ‎kehilangannya, senang dan sedih, adalah bagian dari proses pengujian siapa manusia dengan ‎kualitas amal terbaik.‎

Pada ayat lain, secara eksplisit disebutkan bentuk-bentuk ujian ini; ‎
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
‎“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, ‎kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan (bahan makanan)”. (QS; AlBaqarah; 155) ‎

Di antara karakteristik musibah yang menimpa manusia adalah, ia selalu terjadi di luar perkiraan ‎dan jangkauan prediksi. Ini semestinya mengantarkan manusia pada satu pemahaman, bahwa ‎sebaik apapun prediksi, ekspektasi, harapan dan perencanaan manusia, selalu mesti disisakan ‎ruang ketidakpastian dan ketidaktahuan tentang apa yang akan terjadi, serta menyerahkan ‎kepastian dan pengetahuan tentang hal tersebut kepada Allah Ta’ala.‎

Deskripsi ruang ketidakpastian ini diisyaratkan dalam sebuah ayat
هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ ‏مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga ‎apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ‎ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah ‎angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin ‎bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan ‎mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata (QS Yunus; 22)‎

Demikian AlQur’an mendeskripsikan ruang ketidakpastian, orang bergembira dalam perjalanan, ‎serta memiliki harapan akan sampai pada tujuan, seketika situasi berubah, dan membalikkan ‎seluruh suasana dan harapan, menjadi situasi di mana tiada tempat bersandar berharap keajaiban ‎kecuali dari Pemilik Alam Semesta.‎

Terjadinya musibah dan bencana dalam kehidupan makhluk di alam semesta adalah Sunnah ‎Kauniyah (ketetapan Allah yang pasti terjadi di alam semesta), karenanya menyisakan ruang ‎ketidakpastian dan ketidaktahuan kepada Allah, merupakan Sunnah Syar’iyyah (tuntunan Syar’i) ‎yang mesti dipahami dan diyakini setiap muslim. Di sinilah titik keseimbangan antara ‎pemahaman akan sunnah kauniyah dan sunnah syar’iyyah.‎

Menyisakan ruang ketidakpastian sudah semestinya membawa pada situasi terdekat antara ‎makhluk dengan KhaliqNya. Bahkan situasi ini termasuk bagi siapapun yang menolak keberadaan ‎Tuhan, justru memunculkan warna asli jiwa manusia, fitrah, sebagaimana dalam ayat tersebut ‎ketika dikatakan; ‎
دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
‎“mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka seketika mereka berdoa kepada Allah ‎dengan ‎mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata”.‎

Namun demikian, adanya ruang ketidakpastian dan ketidaktahuan, semestinya tidak membuat ‎muslim mengalami kekhawatiran, ketakutan ataupun trauma yang lebih. Terlebih pada saat ini ‎musibah-musibah yang menimpa manusia terekam oleh memori publik, yang bisa berimplikasi ‎terpukulnya kejiwaan masyarakat. Inilah kenapa Rasulullah saw memberikan panduan setiap ‎ketika keluar rumah;‎
بسم اللَّهِ، توكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ
‎“dengan nama Allah, aku betawakkal (berserah diri) kepada Allah” (HR Abu Daud, AtTirmidzi dari ‎Anas ibn Malik”‎

Doa yang mencerminkan penyerahan diri, pengetahuan dan kepastian apa yang akan yang terjadi ‎pada Allah Ta’ala. Doa ini akan melahirkan rasa aman, ketentraman, serta optimisme, karena ‎perasaan positif takkan muncul kecuali jika ada tempat puncak untuk menggantungkan sandaran ‎dan harapan.‎

Adapun jika musibah dan bencana sudah terjadi; secara manusiawi pasti siapapun pasti terpukul. ‎Kejiwaan manusia -oleh Imam Ibn Al-Qayyim dalam Madarij AsSalikin- digambarkan ada empat ‎tingkatan ketika terkena musibah; 
‎1)‎ Tingkat pertama; keputusasaan, kemarahan, dan menolak kenyataan. Hal ini umumnya ‎dilakukan oleh manusia yang tingkat kematangan jiwanya rendah, akal sehatnya lemah, ‎dan pemahaman agamanya juga sedikit. ‎

‎2)‎ Tingkat kedua; kesabaran. Baik kesabaran karena Allah, atau pun kesabaran karena demi ‎menjaga akal sehat dan kehormatannya. Pada tahap ini, secara syari’at, sabar menjadi ‎kewajiban, terlebih sabar karena Allah adalah sebuah keutamaan. Dan hakikat kesabaran ‎adalah upaya luar biasa untuk mengendalikan jiwa, dengan tidak terucap dari lisan kata ‎yang disukai Allah, tidak pula muncul tindakan yang dimurkaiNya, dan ujian kesabaran ‎terletak pada benturannya yang pertama, sebagaimana sabda Nabi saw;‎
إنما الصبر عند الصدمة الأولى
‎“sesungguhnya kesabaran terletak pada benturan pertama”‎

‎3)‎ Tingkat ketiga; keridhaan dan kerelaan. Sebuah situasi kejiwaan dimana manusia tidak ‎sekedar bersabar, namun meningkat ia pada tahap penguasaan jiwa yang penuh kerelaan, ‎seakan tidak berpengaruh oleh musibah tersebut.‎

‎4)‎ Tingkat keempat; rasa syukur. Ini adalah puncak tertinggi suasana jiwa, di mana tarikan-‎tarikan perasaan manusiawi agar terpengaruh oleh musibah, dikalahkan oleh pandangan ‎bahwa dengan adanya musibah ini, ia mendapatkan ganjaran besar dan peningkatan ‎derajat di sisi Tuhannya, Allah Ta’ala, dan karena itu ia bersyukur.‎

Dari berbagai tingkatan jiwa manusia yang dijelaskan tersebut, yang menjadi standar wajib ‎muslim adalah tingkat kedua, sedangkan ketiga dan keempat merupakan fadhilah (keutamaan). ‎Selain itu ada beberapa hal yang menjadi saran dan anjuran ketika manusia mendapat musibah;‎

‎1)‎ Ucapan ‎إنا لله وإنا إليه راجعون‎, agar tertanam dalam jiwa keyakinan bahwa segala sesuatu milik ‎Allah, dan akan kembali kepadaNya
‎2)‎ Mengingatkan diri agar bersabar, ridha., serta merenungkan bahwa bukan hanya dirinya ‎mendapat musibah.‎
‎3)‎ Memperkuat jiwa dengan meningkatkan ketaatan pada Allah, di antaranya melalui shalat. ‎Karena shalat adalah sarana komunikasi terkuat dan terdekat antara dirinya dengan Allah, ‎tempat mengadu dan bergantung.‎

Demikian beberapa sunnah syar’iyyah, yang menjadi panduan tatkala rententan bencana dan ‎musibah menimpa, yang notabene merupakan sunnah kauniyah. Dengan demikian tercipta ‎keselarasan antara keduanya, sunnah syar’iyyah dengan sunnah kauniyah.‎

Wallahu a’lam

No comments:

Post a Comment