Thursday, August 28, 2014

Mengenal I’jazul Qur’an (Kemukjizatan AlQur'an)

Faris Jihady, Lc

Kemukjizatan AlQur’an adalah konsep dasar aksiomatis yang dipahami dan diyakini setiap muslim. Ia menjadi pembahasan para cendekiawan sepanjang sejarah AlQur’an sejak diturunkannya hingga masa modern.
Konsep dasar dari pembahasan I’jaz AlQur’an (kemukjizatan AlQur’an) adalah bahwa AlQur’an menjadi bukti dari kebenaran kenabian dan risalah Nabi Muhammad saw, dan tiada sesuatu pun atau seorang pun yang dapat mendatangkan yang semisal dengannya, baik secara keseluruhan atau sebagian.


Definisi mukjizat AlQur’an

Secara etimologis; terambil dari kata عجز  yang bermakna الضعف  (lemah). Dalam pemakaian kebahasaan istilah ini umumnya merujuk pada makna ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu, lawan kata dari القدرة.
Secara terminologis; mukjizat sebagaimana definisi para cendekiawan;
أمر خارق للعادة, مقرون بالتحدي, سالم من المعارضة يجريه الله تعالى على يد نبيه شاهدا على صدقه
“sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan (luar biasa), diiringi dengan tahaddi (tantangan), selamat dari perlawanan, yang ditunjukkan Allah melalui tangan nabiNya, sebagai bukti atas kebenarannya”
Istilah mukjizat atau i’jaz  secara redaksional yang merujuk makna yang dipahami dalam kajian ilmu-ilmu Islam sebagaimana di atas tidak tercantum dalam AlQur’an & Hadits. Istilah ini secara redaksional mulai muncul pada akhir abad 2 Hijriah dan awal abad 3 Hijriah seiring dengan mulainya proses kodifikasi ilmu-ilmu Islam. [1]

Al Qur’an menggunakan istilah-istilah lain untuk merujuk pada ‘i’jaz ini, di antaranya;
1.       Ayat الآية , sebagaimana tercantum dalam Firman Allah tentang kisah unta nabi Shalih; هذه ناقة الله لكم آية (الأعراف: 73)
2.       Al bayyinah البينة , sebagaimana tercantum dalam perkataan Musa; قد جئتكم ببينة من ربكم فأرسل معي بني إسرائيل (الأعراف 106(.
3.       Al burhan, البرهان  sebagaimana dalam firman Allah; يا أيها الناس قد جاءكم برهان من ربكم وأنزلنا إليكم نورا مبينا (النساء: 174)
4.       As Sultan السلطان  sebagaimana dalam ayat; وما كان لنا أن نأتيكم بسلطان إلا بإذن الله (إبراهيم: 11)
Sedangkan dalam definisi para cendekiawan, istilah اعجاز القرآن (kemukjizatan AlQur’an) dimaksudkan;
عجز المخاطبين بالقرآن وقت نزوله ومن بعدهم إلى يوم القيامة عن الإتيان بمثل هذا القرآن مع تمكنهم من البيان وتملكهم لأسباب الفصاحة والبلاغة وتوفر الدواعي واستمرار البواعث"
“ketidakmampuan para pihak yang menjadi objek dari diturunkannya AlQur’an, pada saat turunnya, dan hingga masa setelah mereka hingga kiamat, untuk mendatangkan yang semisal dengan AlQur’an, meski mereka memiliki kemampuan bayan, fashahah, balaghah”.

Meski secara redaksional istilah i’jaz ataupun mukjizat tidak dibunyikan, penegasan tentang konsep I’jazul Qur’an إعجاز القرآن  bahwa AlQur’an merupakan mukjizat, dalam AlQur’an ditegaskan secara berulang dan bertahap, dalam beberapa ayatnya;
1.       قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا (88) [الإسراء : 88]
2.       أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (13) [هود : 13]
3.       وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ [البقرة : 23]
Sekilas dapat dipahami, konsep I’jaz yang mengandung tantangan untuk mendatangkan yang semisal AlQur’an, diulangi sedemikian rupa dan bertahap mulai dari yang paling tinggi (seluruh AlQur’an), kemudian 10 Surat, kemudian 1 surat.

Di antara karakter khas konsep I’jazul Qur’an adalah bahwa kemukjizatan AlQur’an bersifat abadi, ia tidak terbatas oleh komunitas, kaum, tempat dan waktu. Ia berlaku sepanjang masa dan setiap kaum.

Aspek-aspek kemukjizatan AlQur’an

Para cendekiawan berbeda pendapat dalam mengklasifikasi berbagai aspek kemukjizatan AlQur’an, karena AlQur’an memiliki kesempurnaan dan mengandung kemukjizatan dalam semua aspeknya. As-Suyuthi (w 911 H), seorang cendekiawan AlQur’an, menghitung 35 aspek kemukjizatan AlQur’an, namun para cendekiawan kontemporer menilai bahwa sebagian besarnya berkait satu sama lain.
Secara umum para cendekiawan nyaris sepakat dalam klasifikasi 3-4 aspek kemukjizatan AlQur’an;
  1. I’jaz Lughawi (الإعجاز اللغوي), kemukjizatan dari aspek bahasa. ia juga sering diistilahkan dengan istilah lain I’jaz Bayani, atau I’jaz Balaghi. Ini adalah aspek terbesar dan paling utama nampak dari AlQur’an. Mayoritas literatur para cendekiawan yang membahas tentang I’jaz umumnya membahas dan mendalami aspek ini dengan berbagai cabang kajiannya. Secara umum aspek ini dapat terklasifikasi menjadi beberapa cabang kajian; (a) Aspek balaghah dan fashahah; tercakup di dalamnya bagaimana AlQur’an menggunakan perangkat-perangkat kebahasaan, seperti tasybih, iijaaz, ithnab, dan sebagainya. (b) Aspek nazham (susunan redaksi) AlQur’an; bagaimana AlQur’an serasi dalam susunan kalimatnya, nada dan bunyi yang timbul dari pilihan kalimat, pemilhan untuk mewakili makna& konteks yang dimaksud, serta keserasian antara ayat dengan ayat lain sebelum dan sesudahnya, dan sebagainya.
  2. I’jaz Ikhbari (الإعجاز الإخباري), kemukjizatan pada aspek pemberitaan. AlQur’an sangat banyak mengandung pemberitaan yang terkait hal-hal di luar kebiasaan akal manusia, dan tidak mungkin diketahui kecuali dari sumber wahyu.  Aspek ini mencakup antara lain; (a) Pemberitaan tentang wilayah ghaib yang mutlak, semisal tentang Dzat Allah Ta’ala, malaikat, surga dan neraka. (b) Pemberitaan tentang masa lampau, semisal; permulaan penciptaan makhluk, dan kisah umat terdahulu. (c) Pemberitaan tentang masa depan, baik apa yang akan terjadi pada masa nabi masih hidup, maupun masa depan yang masih jauh. (d) Pemberitaan tentang apa yang tersimpan dalam jiwa dan hati manusia.
  3. I’jaz Tasyri’i (الإعجاز التشريعي), kemukjizatan pada aspek syariat yang terkandung dalam AlQur’an, bahwa setiap ketentuan, aturan dan ketetapan dalam AlQur’an mengandung hikmah, kebenaran, dan kemaslahatan bagi makhluk.
  4. I’jaz Ilmi (الإعجاز العلمي), kemukjizatan pada aspek isyarat dan pembicaraan AlQur’an tentang sains dan alam. Inti dari kajian ini adalah bahwa AlQur’an mengandung isyarat ataupun pembicaraan tentang sains dan alam yang secara saintifik baru dibuktikan di kemudian hari jauh setelah turunnya AlQur’an.


I’jaz Ilmi (الإعجاز العلمي); selayang pandang dan studi kritis

Studi pada aspek ini mendapat porsi perhatian besar terutama pada pasca abad 20, seiring dengan penemuan-penemuan sains modern, dan kemunduran kaum muslimin pada level pengaruh ilmu pengetahuan dan peradaban. Meskipun sebenarnya perhatian terhadap aspek ini sudah dimulai sejak abad pertengahan. Tepatnya Fakhruddin ArRazi (w 606 H) dalam karyanya Mafatihul Ghaib sudah banyak membahas aspek ini. Namun demikian, sepanjang sejarahnya kajian pada aspek ini tidak begitu mendapat perhatian besar bahkan cenderung terjadi ikhtilaf para ulama apakah AlQur’an benar-benar mengandung aspek I’jaz Ilmi.

Para cendekiawan yang mengkaji aspek ini memiliki tujuan dasar untuk membuktikan kebenaran Islam dan AlQur’an, serta membangkitkan ‘izzah (kebanggaan) kaum muslimin dengan agamanya. Derasnya kajian pada bidang ini menimbulkan persoalan secara ilmiah, karena definisi, rambu-rambu, dan koridornya malah belum begitu banyak dibahas sehingga belum begitu jelas. Para peneliti dan cendekiawan justru lebih banyak berkutat pada upaya pencocokan antara penemuan sains modern dengan ayat-ayat AlQur’an, meskipun secara tafsiriah belum tentu ayat tersebut memaksudkan demikian.

Hal yang sering luput dalam banyak kajian tentang I’jaz Ilmi (kemukjizatan ilmiah) adalah hubungan antara Tafsir Ilmi (Tafsir Ilmiah) dengan I’jaz Ilmi (Kemukjizatan Ilmiah). Padahal mestinya I’jaz Ilmi tidak mungkin berdiri sendiri tanpa Tafsir Ilmi, karena pembuktian suatu penemuan modern bahwa ia diisyaratkan atau dibunyikan oleh AlQur’an –dimana hal ini merupakan concern dari I’jaz Ilmi- harus lah dibangun di atas Tafsir –penjelasan dan pemahaman akan makna ayat yang benar-, sehingga betul-betul ada korelasi antara makna yang dimaksud oleh ayat dengan penemuan sains modern yang sedang dibuktikan tersebut. Penekanan pada hal ini cukup penting, karena upaya pencocokan tanpa definisi dan rambu-rambu jelas boleh jadi blunder, karena nash AlQur’an pada dasarnya bersifat final, sedangkan penemuan sains modern boleh jadi belum final dan masih mungkin terkoreksi.

Secara kritis, pengaitan antara istilah Tafsir dan I’jaz dengan istilah Ilmi (sains) juga tak luput dari problem. Karena istilah tersebut baik Tafsir Ilmi maupun I’jaz Ilmi menggambarkan pengaruh dikotomi antara ilmu sains dengan non sains. Seakan tafsir yang tidak menggunakan pendekatan sains terapan tidaklah ilmiah. Karenanya para cendekiawan tafsir yang melakukan studi kritis terhadap istilah ini menambahkan istilah Tafsir Ilmi Tajribi التفسير العلمي التجريبي  (Tafsir Ilmiah Terapan) yang bermakna bahwa yang dimaksud adalah pendekatan penafsiran AlQur’an berdasar ilmu-ilmu sains terapan.

Prof Fahd ArRumi, seorang Guru Besar Ilmu AlQur’an pada King Saud University mendefinisikan Tafsir Ilmi Tajribi;
اجتهاد المفسر في كشف الصلة بين آيات القرآن الكريم الكونية ومكتشفات العلم التجريبي على وجه يظهر به إعجاز القرآن
“usaha seorang mufassir dalam menyingkap korelasi antara ayat-ayat AlQur’an yang bersifat kauniyah, dan penemuan sains terapan dalam rangka menampakkan kemukjizatan AlQur’an”

Definisi di atas dikoreksi oleh cendekiawan lain, Prof Adil AsSyiddi, Guru Besar Ilmu AlQur’an pada universitas yang sama, karena semata-mata menyingkap korelasi bukanlah tafsir. Karenanya ia mendefinisikannya;
استخدام العلم التجريبي في زيادة إيضاح معاني الآيات القرآنية وتوسيع مدلولاتها
“penggunaan sains terapan untuk menambah penjelasan makna ayat-ayat AlQur’an dan memperluas kandungan-kandungannya”. Dari definisi tersebut nampak bahwa ilmu terapan lah yang menjadi alat pembantu untuk memahami nash, dan bukan penilai kebenaran nash tersebut. Dia juga menambahkan ketika hasil dari Tafsir Ilmi Tajribi tersebut digunakan untuk membuktikan kebenaran risalah Muhammad saw, maka saat itu ia menjadi I’jaz Ilmi Tajribi (kemukjizatan AlQur’an dalam aspek sains terapan)

Patut digarisbawahi, inti dari kajian I’jaz Ilmi Tajribi adalah keyakinan bahwa AlQur’an mengandung isyarat-isyarat dan pembicaraan tentang alam dan ilmu pengetahuan, yang secara realitas baru terbukti jauh setelah AlQur’an diturunkan, dan belum diketahui pada masa nabi saw. Hal ini menunjukkan kebenaran AlQur’an, bahwa tak mungkin ia buatan makhluk. Sebagaimana Allah menurunkan AlQur’an, Dia pula yang menciptakan alam, tak mungkin ada kontradiksi.
Dalam upaya memahami korelasi antara penemuan sains terapan dengan makna AlQur’an, perlu adanya rambu-rambu agar tak melampaui batas. Karena secara riil banyak upaya yang justru malah serampangan dan cenderung mencocok-cocokkan meski sebenarnya tak ada kaitan. Rambu-rambu Tafsir Ilmi Tajribi antara lain;
1)      Terpenuhinya syarat-syarat mufassir pada orang yang melakukan upaya Tafsir Ilmi Tajribi, dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang sains modern yang digunakan untuk menafsirkan AlQur’an
2)      Hendaknya Tafsir Ilmi Tajribi ini tidak menutupi aspek-aspek lain dari pembahasan tafsir ayat-ayat yang sedang dibahas
3)      Tidak mem-finalkan bahwa Tafsir Ilmi Tajribi yang diyakininya adalah satu-satunya tafsir yang maqbul (diterima)
4)      Mencukupkan penafsiran pada hakikat ilmiah yang sudah final, bukan pada teori atau pun hipotesa
5)      Tidak memaksakan lafaz AlQur’an agar sesuai dengan penafsiran sains yang diinginkan padahal secara bahasa tidak berkait
6)      Tidak menjadikan aspek-aspek ghaib sebagai objek Tafsir Ilmi
Terlepas dari diskursus di atas tentang definisi I’jaz Ilmi Tajribi, secara faktual AlQur’an memang mengandung isyarat-isyarat ilmiah –sebagaimana istilah Prof Quraish Shihab-, patut pula digarisbawahi untuk tidak menganggap AlQur’an sebagai buku sains dalam standar yang kita pahami.
AlQur’an secara tegas memerintahkan pembacanya untuk membaca tanda-tanda kekuasaannya yang ada dalam kaun, misalnya
-          سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ [فصلت : 53]
-          أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ [الأعراف : 185]
Sedangkan beberapa isyarat ilmiah yang ditegaskan oleh AlQur’an dan secara Tafsir Ilmi dapat diterima antara lain;
a.       Ihwal penciptaan manusia, sebagaimana tercantum dalam beberapa ayat yang terpisah, sebagian lain dalam satu rangkaian sebagaimana dalam rangkaian ayat berikut;
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14) [المؤمنون : 12 – 14[
Ayat- ayat tersebut menjelaskan tentang tahapan penciptaan manusia, dan sains modern pun membuktikan secara faktual hal demikian
b.      Ihwal kejadian alam semesta
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا [الأنبياء : 30]
“tidakkah orang-orang kafir memperhatikan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan satu yang padu, kemudian Kami memisahkannya?”
AlQur’an tidak menjelaskan bagaimana terjadinya pemisahan itu, namun apa yang dikemukakan  tentang keterpaduan kemudian terpisah dibenarkan oleh observasi para ilmuwan. Observasi Edwin P Hubble (w 1953) pada tahun 1929 menunjukkan adanya pemuaian alam semesta, “the expanding universe”. Agaknya inilah yang dimaksud dalam ayat tersebut
c.       Ihwal awan dan hujan
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ [النور : 43]
“tidakkah kamu melihat bagaimana Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkannya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kamu melihat hujan keluar dari celah-celahnya. Dia juga menurunkan (butiran-butiran) es bermula dari langit  (dari gumpalan awan) seperti gunung-gunung”
d.      Ihwal pengelupasan kulit
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ [النساء : 56[
Ayat di atas menjelaskan tentang azab neraka bagi orang-orang kafir berupa dibakarnya kulit mereka hingga mengelupas kemudian jika terkelupas, diganti dengan kulit yang baru. Hal ini ditegaskan secara medis bahwa rasa panas terbakar dan sakit sebatas pada permukaan kulit, jika sudah sampai ke dalam daging maka rasa sakitnya bekurang, karena itu ditumbuhkanlah kulit yang baru agar rasa sakitnya terus berulang.

Antara Tafsir llmi dan Manhaj Ilmi

Tafsir Ilmi hendaknya jangan menjadi semata-mata upaya mengait-ngaitkan antara temuan sains dengan ayat AlQur’an, apalagi orang lain yang menemukan kita yang mencocok-cocokkan, seorang cendekiawan AlQur'an, Prof Adnan Zarzur mengatakan kegemaran mencocok-cocokkan malah menunjukkan keengganan dan kemalasan berpikir.
Keilmiahan AlQur’an ataupun “modernitas”nya bukanlah terletak pada apa dan berapa isyarat ilmiah yang dikandungnya, namun terletak pada manhaj ilmi (metode ilmiah) yang diserukan olehnya untuk diterapkan oleh kita sebagai manusia.
Penyebutan isyarat-isyarat ilmiah bukanlah maksud utama, namun ia semata perantara. Karenanya penyebutan isyarat-isyarat ilmiah selalu sebagai tahap akhir setelah perintah tentang penggunaan metode ilmiah (manhaj ilmi) dalam berpikir.
Di antara bentuk manhaj ilmi yang dipandu oleh AlQur'an adalah; Penghapusan warisan-warisan mitos masa lalu, atau pun hambatan lingkungan sosial (jumud dan taqlid) yang menghambat proses berpikir. Juga membangun persepsi tentang hubungan antara alam dengan manusia adalah hubungan taskhir (penundukan) oleh Allah, karenanya hendaknya ia tidaklah semena-mena atau pun sebaliknya menjadi hamba bagi alam. Ia adalah hamba Allah, dan pengelola yang memakmurkan alam.




[1] Adalah AnNazzham ( w 231 H) seorang pemuka mazhab Mu’tazilah yang diketahui menggunakan redaksi i’jaz pertama kali. Setelahnya adalah, Ahmad ibn Hanbal (w 241 H) seorang ulama pelopor mazhab Hanbali. Sedangkan karya tulis pertama yang menggunakan judul I’jazul Qur’an ditulis oleh Muhammad ibn Zaid AlWasity (w 306 H).
* catatan ini semata ringkasan pikiran yang disampaikan dalam Seminar AlQur'an di UIN Malang, 27 Agustus 2014. belum disempurnakan sebagaimana mestinya

No comments:

Post a Comment