Monday, November 28, 2016

Membaca Pemikiran KH Sahal Mahfudz

Sintesa antara Fiqh Syar’I dan Fiqh Ijtima’iy*

Nuansa Fiqh Sosial
Penulis : K.H. M.A.Sahal Mahfudh
Penerbit : LKIS
Tebal : xxvi + 390 halaman
Ukuran : 12 x 18 cm
Terbit : Cet I, 1994 



Oleh: Faris Jihady, Lc

Wafatnya KH Sahal Mahfudz merupakan kehilangan besar bagi kaum Muslimin di Indonesia. Ulama sepuh dan kharismatik berlatar Nahdlatul Ulama yang merupakan tokoh langka yang dimiliki negeri ini. Beliau adalah sosok tawadhu, memiliki kedalaman ilmu yang memadukan antara kefaqihan dengan kontribusi sosial, namun yang sangat disayangkan, beliau tidak terlalu popular di media sehingga pemikiran-pemikiran cemerlangnya semasa beliau aktif tidak terlalu dikenal di masa kini. Di antara buku yang merekam jejak pemikiran beliau adalah Nuansa Fiqih Sosial.

Buku ini merupakan kumpulan atau bunga rampai berbagai makalah dan artikel yang KH Sahal tulis yang tersebar di berbagai forum dan media massa pada era awal 90an. 37 Artikel terbagi dalam 4 sub-tema. Tulisan ini mencoba mengulas secara ringkas keistimewaan buku ini.

Nuansa Fiqih Sosial, demikian bagian pertama buku ini diberi judul. Ada 9 makalah dan artikel yang disampaikan dalam berbagai forum era akhir 80an-awal 90an. Semuanya terikat oleh satu kesamaan tema yaitu pandangan-pandangan orisinil KH Sahal tentang Fiqih Islam. Meskipun artikel-artikel tersebut ditulis lebih dari 20 tahun yang lalu, namun sampai hari ini tetap relevan untuk diperbincangkan, sekaligus menggambar kedalaman aspek Fiqih Syar’I dalam sosok KH Sahal.

Pada makalahnya “Nuansa Fiqih Sosial”, tampak ketajaman pikiran KH Sahal yang mendahului jiwa zamannya. Beliau berbicara tentang tema yang pada hari itu belum dibicarakan banyak orang; Maqashid Syari’ah, yang lebih menarik; beliau mengaitkan antara Maqashid Syar’iah dengan persoalan kependudukan. Beliau menekankan bahwa dalam menyelesaikan masalah kependudukan, ada dua spirit utama yang harus terpenuhi berdasarkan Maqashid Syar’iah; 1) memenuhi kebutuhan dasar manusia (dharuriyat), sekunder (hajiyat), dan tersier (tahsinat) 2) menciptakan keseimbangan antara nilai imani dan aqidah dengan aplikasi syariat secara actual dan rasional. Keduanya demi tujuan akhir dari keberadaan manusia; sa’adatuddarain (kebahagiaan dunia dan akhirat).

KH Sahal berpendapat, peran seorang faqih adalah kemestian dalam kontribusi sosial. Beliau –mengutip Al-Ghazali- mengatakan bahwa cirri utama yang melekat pada seorang ahli fiqih atau ‘alim adalah; faqih fi mashalihil khalqi (sangat paham dalam hal yang membawa kemaslahatan bagi makhluk). Hal ini berkonsekuensi fungsi seorang faqih tak lagi semata pada motivasi keagamaan, namun juga harus mampu mempengaruh public untuk meningkatkan kualitas hidup, materi dan spiritual.

Mencermati gagasan KH Sahal tersebut, dapat dikatakan bahwa beliau mengusulkan salah satu bentuk dari apa yang disebut hari ini dengan tajdid al-faqih (memperbaharui sosok faqih), bukan lagi semata-mata tajdid al-fiqh (memperbaharui fiqh). Satu gagasan cemerlang yang trmelampau zaman sekaligus semestinya memecah kebekuan berpikir di kalangan kaum muslimin.

Gagasan KH Sahal pada aspek tajdid al-fiqh (memperbaharui fiqih) sangat nampak pada artikel beliau “Fiqih yang Kontekstual). Beliau menganalisa salah satu aspek kebekuan fiqih masa kini adalah pemaknaan fiqih yang terkesan legal formalistic, sehingga cenderung tidak terlihat dalam kehidupan sosial, padahal syari’at semestinya menjadi pandangan hidup kaum muslimin. Sebagai solusi beliau mengusulkan kontekstualisasi fiqih yang berarti focus pada nilai yang menjiwai sebuah hukum fiqih, tak lagi semata pada aspek formalnya. Beliau menekankan kontekstualisasi fiqih bukan berarti meninggalkan fiqih secara mutlak, namun dengan menggunakan perangkat penalaran ushul fiqih. Semisal dalam memaknai nash anjuran memperbanyak keturunan, mestinya juga dimaknai dengan peningkatan kualitas hidup kaum muslimin, sehingga aspek kehidupan dapat terjiwai oleh fiqih, dan fiqih pun dapat dipahami dengan mudah oleh khalayak masyarakat.

Pada aspek lain, kefaqihan KH Sahal juga nampak dalam pikirannya dalam “Menggali Hukum Islam”, dimana beliau menganalisis metodologi pengambilan hukum dalam tradisi mazhab Syafi’iyyah Jam’iyyah Nahdatul Ulama (NU). Beliau mengatakan bahwa Istinbath (pengambilan kesimpulan) hukum dalam tradisi NU bukan berarti mengambil hukum langsung dari Qur’an & Sunnah, namun dari nash dari fuqaha (ahli fiqih) Syafi’iyyah yang kemudian diturunkan ke realita secara dinamis. NU cenderung menghindari istilah Istinbath karena konotasinya yang identik dengan ijtihad mutlak, yang berkonsekuensi pendayagunaan seluruh sumber daya untuk menggali langsung dari sumber primer. NU lebih cenderung kepada terminology bahtsul masai’l (pembahasan masalah) yang berkonotasi istinbath dalam koridor mazhab.

Penekanan KH Sahal pada tradisi fiqih NU tersebut memberi pelajaran penting tentang metodologi pengambilan hukum, bahwa istinbath dalam tradisi fiqih tidak menghilangkan aspek kerendahan hati, kehati-hatian, serta penghormatan terhadap warisan pemikiran ulama mazhab, dan tidak serampangan menyebrang lintas mazhab. Namun demikian, demi menghilangkan kebekuan pikir dalam tradisi mazhab tersebut beliau mengusulkan pentingnya keterpaduan lintas bidang dalam bahtsul masa’il ketika membahas tema-tema mutakhir, dengan cara mengundang para pakar di bidang masing-masing.

Pada bagian kedua buku ini yang terangkum dalam tema; “Dakwah dan Pemberdayaan Rakyat”, KH Sahal membawa pembaca tak lagi semata menyelami gagasan-gagasan Syar’I, namun juga kepada kemestian inovasi dalam konsep dasar dakwah. Beliau berpendapat dakwah harus memenuhi kebutuhan setiap kelompok dari masyarakat dan menggali potensi manusia, menyesuaikan dengan teori Hierarchy of Needs-nya Abraham Maslow. Inovasi dalam konsep dakwah ini berkonsekuensi perencanaan yang matang dalam dakwah yang berbasis riset kebutuhan lapangan (bottom up) tidak lagi top down (dari atas). Kebutuhan dakwah yang berstrategi merupakan keharusan, karena dakwah bukan mengisi ruang hampa di masyarakat, ia sudah berisi budaya, system nilai dan tradisi.

Penegasan gagasan di atas ditekankan kembali dalam “Dakwah Partisipatif”. KH Sahal membedakan antara Dakwah dengan Di’ayah (propaganda) dan indoktrinasi. Di’ayah (propanda) belum tentu substansinya baik, dan indoktrinasi berarti dominannya unsure paksaan dalam menawarkan ide. Sedangkan dakwah tentu saja substansinya harus baik, dan tidak ada unsure paksaan. Ia harus menumbuhkan kesadaran pada dua level; kualitas keagamaan dan kualitas perubahan sosial.

Pada bagian ketiga buku ini, gagasan KH Sahal untuk membumikan nilai-nilai Ahl Sunnah wal Jama’ah (aswaja) terekam dalam “Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja”. Beliau menegaskan karakter dasar nilai aswaja yang akomodatif yang tergambar dalam keseimbangan antara dalil aqli dan naqli merupakan modal dasar yang memungkinkan adanya akomodasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyrakat.

Kata kunci dalam gagasan di atas adalah fleksibilitas. Beliau mengutip definisi Al-Ghazali tentang faqih, yang bermakna; faqih fi mashalihil khalqi fid dunya (peka terhadap permasalahan manusia dan kehidupan). Karenanya pembangunan manusia harus mengakomodasi dua aspek ini; ‘ibadatullah dan imaratul ardhi (memakmurkan bumi). Aswaja bukanlah semata sumber nilai etis, tapi juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, sesamanya, dan alam. Dengan kata lain, KH Sahal menginginkan tidak adanya jarak antara gagasan etis aswaja dengan pemecahan persoalan realitas kehidupan.

Sedangkan dalam “Islam dan Politik”, beliau menekankan gagasan tentang eratnya antara Islam dan Politik, sebagai konsekuensi logis dari konsep Islam yang syamil (menyeluruh). Politik menurut beliau adalah segala bentuk usaha untuk merealisasikan kemaslahatan ummat. Inilah bangunan politik yang seharusnya, berdasarkan kaidah fiqih tasharruf al-imam manuthun bil maslahah (kebijakan pemimpin terkait erat dengan kemaslahatan), ini berarti kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, karena kemaslahatan bermakna pelibatan semua unsur publik.

Di sisi lain KH Sahal juga mengingatkan bahaya hilangnya pengaruh nilai agama terhadap perilaku politik, ini melahirkan sekularisasi kultur politik. Ini lebih berbahaya dari pada sekadar pemisahan agama dari politik structural. Karenanya mesti ada islamisasi kultur politik, tidak lagi semata focus pada cara-cara tradisional dengan menggunakan symbol-simbol agama. Namun islamisasi kultur terletak pada optimalisasi SDM politik muslim yang bercakrawala luas, serta memiliki kejelian analisis dalam memecahkan persoalan. Gagasan KH Sahal merupakan gagasan unik di masa itu, dan juga sangat relevan di masa kini terutama setelah era kebebasan politik paska-reformasi.

Cuplikan-cuplikan buah pikir KH Sahal di atas hanyalah sekilas dari sekian banyak gagasan beliau yang cemerlang dan melintasi semangat zaman. Jika dicermati nyaris semua yang beliau sampaikan dalam 37 artikel dan makalah tersebut umumnya masih relevan hingga masa kini. Cerminan seorang ‘alim yang menggabungkan sintesa antara faqih syar’I dan faqih ijtima’iy.

Buku ini dengan segala kelebihannya, tetaplah buah pikir manusia yang tak sempurna. Kekurangannya terletak pada bahasa yang masih rumit dan tidak bisa dipahami kecuali hanya kalangan intelektual, dan memang tampaknya gagasan-gagasan beliau ini ditujukan kepada kaum intelektual dari berbagai pemangku kepentingan masyarakat; ulama, pemerintah, ormas dan institusi-institusi islam.

___________
*resensi yang ditulis tak lama setelah wafatnya Almarhum Almaghfur lah KH Sahal Mahfudz di tahun 2014



No comments:

Post a Comment