Monday, June 10, 2013

Keberkahan Perspektif Al-Qur'an

Serial Inspirasi Qur’ani
By; Faris Jihady

Tak ada satu pun memungkiri, tentang asal muasal kata ini yang khas Arabic. Ia kemudian terserap dalam lidah berbagai bangsa, termasuk bahasa Indonesia. Kata ini –dalam bahasa asalnya- sudah memiliki makna asal (haqiqah lughawiyah/ hakikat kebahasaan) sebelum menjadi haqiqah syar’iyyah (lafaz syar’i).

Al Qur’an sebagai salah bentuk I’jaznya menggunakan lisan arab, kemudian menggunakan lafaz  برك“b-r-k” dan mengembangkan maknanya, hingga terbentuklah satu persepsi khusus secara tetap dan utuh tentang makna yang merujuk pada kata tersebut.

Lafaz ب-ر-ك  “b-r-k” dan berbagai derivasinya terulang dalam Al-Qur’an sejumlah kurang lebih 30 kali. Ia terekspresikan dalam berbagai shighat (bentuk) [1] ;
Kadangkala ia terucap dalam bentuk kata kerja (fi’il madhi) yang menunjuk masa lampau; dengan Dzat Allah Ta’ala sebagai subjek, tanpa adanya objek (intransitif) seperti;
فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ [المؤمنون : 14]
fatabaaraka (Maha Suci Allah), Pencipta yang paling baik” (QS AlMu’minuun”, atau; Allah sebagai Fa’il (subjek) dan makhluknya sebagai objek (transitif);
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا [الإسراء : 1]
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi (baarakna) sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami”.


Kadangkala ia terungkap dalam bentuk kata sifat yang menyifati objek yang disebut sebelumnya secara beriringan, seperti; 
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ [ص : 29]
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah (mubaarak) supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai akal”. Anda dapat lihat, Al-Qur’an disifati sebagai mubaarak (diberkahi).
Tidak hanya AlQur’an, ada satu manusia hamba Allah, Isa alayhissalaam yang disifati sebagai mubaarak, 
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيّا وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا [مريم : 31- 32]
“dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi (mubaarak) di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka”. Anda temukan, Isa alayhissalaam adalah seorang yang mubaarak sejak lahirnya.
Ada kalanya ia terekpresi dalam bentuk ism masdar (invinitive, gerund), berupa lafaz “barakah” بركة  dengan bentuk plural بركات . dapat anda temukan;
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْض [الأعراف : 96]
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”.

Demikianlah di antara sebagian ta’bir (ekspresi) qur’ani dalam mengungkapkan lafaz khas ini, tentu saja ada ekspresi-ekspresi lain yang belum diungkap. Setiap pembaca yang berusaha menyelami kedalaman makna dan rahasia-rahasia dalam ekspresi tersebut akan menemukan banyak kesimpulan penting, yang membawa pada persepsi yang utuh tentang makna yang dirujuk oleh lafaz “barakah” ini.

Sebelum kita sampai pada kesimpulan utuh, seorang cendekiawan ahli bahasa sekaligus mufassir besar, ArRaghib Al-Isfahani berkata tentang akar kata ini dalam lisan Arab; “asal kata al-bark bermakna dada unta, ketika unta duduk ia meletakkan dadanya melekat pada tanah. Tempat untuk menyimpan dan menahan air disebut birkah (kolam), karenanya barakah mengandung makna luzum (melekat terus menerus, tak berpindah)” [2].

Mari kita simpulkan secara perlahan; antara ayat-ayat di atas dengan tinjauan etimologis oleh Al-Isfahani tadi;

Pertama, jika kita cermati lebih dalam pada beberapa ayat AllahTa’ala menyebut DzatNya dengan Tabaaraka (Maha Suci). Dia juga menyebut DzatNya sebagai pihak yang memberkahi (baarakna) makhluknya. Ini memberikan satu makna penting, bahwa pada dasarnya makna utama dari barakah adalah “al-khayr al-ilaahiy” (kebaikan ilahiy), kebaikan yang bersumber dari DzatNya, Allah Ta’ala. Oleh karena ia bersumber dariNya, ukuran kebaikannya pun bukan ukuran manusiawi kita yang terbatas, namun  diukur dengan standar ilahiy, dan karena sumber keberkahan –Allah Ta’ala- tak mungkin dirasa, dihitung, dan dibatasi panca indera, maka setiap kebaikan yang bertambah berupa non inderawi disebut barakah.

Kedua, Al-Qur’an disebut mubaarak, Kalamullah yang diberkahi, karenanya ia merupakan sumber al-khayr al-ilaahiy yang tak berbatas, namun dengan syarat yang harus dipenuhi, yakni, “supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya (tadabbur) dan supaya orang-orang berakal mengambil pelajaran”

Ketiga, al-khayr al-ilaahiy ini Allah limpahkan pada makhluknya, bukan semata begitu saja, ia memerlukan satu kesinambungan amal,  Isa alayhissalaam disebut sebagai mubaarak, diiringi dengan karakter khas yang melekat pada dirinya, “memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku”. Allah juga ungkapkan, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”.  Anda garisbawahi, shalat, zakat, iman, takwa adalah proses amal yang berkesinambungan, yang harus diusahakan dengan komitmen dan konsistensi.  

Keempat, di antara bentuk kasih sayang Allah kepada makhluknya, adalah Dia istimewakan beberapa tempat dan waktu, selain untuk menunjukkan kedudukan tempat dan waktu tersebut di sisiNya, hal ini juga memberi kesempatan para hambaNya untuk mereguk al-khayr al ilaahiy tersebut. Karenanya, Allah sebut Lailatul Qadr sebagai “Lailah Mubarakah” (QS AdDukhan: 3), sebagaimana ia sebut Masjidil Aqsha dengan “baarakna haulahu” "kami berkahi sekitarnya/sekelilingnya”.  Tentu saja penyebutan Lailatul Qadr dan Al-Aqsha bukan berarti hanya itu, namun ia mewakili tema ini, tentang pengistimewaan beberapa waktu dan tempat.

Kelima, penggabungan makna dasar barakah dengan tinjauan etimologis Al-Isfahani tadi, mengantarkan kita pada satu kesimpulan utama, bahwa terwujudnya “barakah” adalah tatkala kebaikan ilahiy tersebut selalu melekat, selalu ada, tak berpindah, dan tak berubah. Karenanya Al-Isfahani melanjutkan etimologisnya dengan makna syar’inya, bahwa barakah adalah; “tetap melekatnya kebaikan ilahiy dalam sesuatu hal”.

Terakhir, penegasan persepsi yang utuh tentang makna barakah ini memberi satu pedoman penting bagi setiap muslim tentang cara pandang, pola pikir dan bangunan persepsi, hendaknya setiap muslim menyesuaikan cara pandang dalam mengukur kebaikan selalu mengukur –pertama kali- dengan ukuran ini, ukuran syar’i, ukuran yang qur’ani. 
_______________________________________________
Wallahu a’lam
Riyadh, 100613

[1] Al-Mu’jam Al-Mufahras li  Ma’anil Qur’aan
[2] Al Mufaradat fi Gharibil Qur’an



No comments:

Post a Comment