Monday, September 1, 2008

Ramadhan Mulia, antara Idealitas dan Realitas

Bismillahirrahmanirrahim, ada tulisan lama yang tersimpan..

RAMADHAN MULIA: ANTARA IDEALITAS DAN REALITAS

 

Bulan Ramadhan telah tiba, tamu nan mulia itu menggemakan keagungan dan keberkahannya. Euforia kegembiraan dan simbol-simbol ada dimana-mana menyambut kedatangan sang tamu agung itu.

           
Ya, itulah Ramadlan, bulan yang penuh berkah dan ampunan bagi siapa saja, ungkapan ini sudah begitu akrab di telinga kita, hingga sudah menjadi rutinitas tahunan untuk merayakan kedatangannya. Di dalamnya pun Allah memberikan bonus pahala yang berlipat ganda bagi hamba-hambaNya yang berpuasa dan beribadah dengan ikhlas, pintu-pintu surga dan kebaikan terbuka sedemikian rupa, sungguh suasana begitu sejuk dan religius yang terjadi di depan mata. Maka dapat kita lihat, diawal-awal bulan, masjid begitu penuh disaat-saat tarawih dilakukan, masyarakat begitu antusias mengikuti proses suasana religiusitas yang begitu tinggi, seakan masyarakat kita telah berubah secara spontan menjadi masyarakat yang saleh.

 

Di sisi lain, bulan ini pun menjadi berkah. Bagi industri layar kaca, peluang bisinis terbuka lebar dengan beramai-ramai menayangkan acara-acara religius, baik itu ceramah hingga sinetron, artis-artis yang biasa tampak dalam hidup glamour dan gemerlap, tiba-tiba berubah menjadi sosok-sosok alim yang mudah menangis tatkala mendengar ceramah agama ataupun siraman rohani, berbalutkan jilbab atau peci, gamis atau baju koko.

           

Ya, itulah fenomena euforia Ramadhan, yang terjadi hampir setiap tahunnya, tentunya, secara zahir menjadi faktor penyebab kegembiraan yang membuncah dalam dada kita, kaum muslimin, yang selalu mendambakan suasana penuh kedamaian, religiusitas, ketenangan beribadah penuh kesejukan.

           

Namun, ada banyak serentetan pertanyaan yang patut dipertanyakan pada diri kita, diantaranya; mengapa di bulan Ramadhan, yang disebut sebagai saat-saat penuh solidaritas dan kepedulian, orang menjadi begitu konsumtif? Mengapa terjadi penurunan kuantitas shalat berjamaah di masjid ketika memasuki pertengahan bulan? Mengapa orang lebih tertarik menonton acara televisi dirumahnya dibanding tilawah qur’an di masjid? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing karena pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagian kecil dari sekian banyak pertanyaan yang berkaitan langsung dengan diri kita, kaum muslimin.

           

Betapa Maha Pemurahnya Dia, Rabb Maha Agung, Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menyediakan Ramadhan untuk kita, sebagai sarana yang begitu sempurna dalam rangka memperbaiki kualitas diri kita, keluarga kita, dan masyarakat kita dengan banyak beramal shaleh. Melalui puasa, shalat, zakat dsb yang semuanya mempunyai dimensi manfaat yang begitu sempurna baik bagi diri kita secara individu maupun secara kolektif.

           

Maka, begitu Pemurahnya Dia, yang telah menyiapkan bagi kita, hamba-hambaNya malam Lailatul Qadr, malam yang penuh keberkahan yang jika kita beribadah didalamnya bernilai lebih baik dari beribadah 1000 bulan, namun seringkali kita menyepelekan dan melalaikannya dengan lebih memilih tidur pulas dirumah kekenyangan, dibandingkan menghabiskannya dengan shalat malam penuh penghambaan. Dan begitu Pengasihnya Dia, yang telah menyediakan 10 hari terakhir dengan janjiNya, pembebasan dari api neraka, namun, yang kita lakukan adalah menghabiskan waktu dengan shopping dimall, supermarket, dengan alasan menyiapkan lebaran dibandingkan beri’tikaf, bermunajat padaNya dimasjid.

           

Berbagai fenomena itulah, mungkin yang membawa kita pada sebuah kesimpulan; Ramadhan dengan segala keagungan dan keberkahannya, ternyata seringkali kita lewati dengan euforia kegembiraan sesaat, dengan simbol-simbol belaka, sehingga kita seringkali melewatinya seakan-seakan sebagai rutinitas tahunan tanpa makna, karena itu tak sedikitpun taqwa kita meningkat, kesalehan sosial masyarakat yang tak kunjung muncul pasca Ramadhan, pejabat-pejabat korup pun kembali merajalela seakan makna Ramadhan sebagai saat pembinaan diri, tak berbekas sama sekali pada diri mereka, dan ternyata Ramadhan pun tak memberi dampak apa-apa bagi kita, Astaghfirullahaladzim.

           

Oleh karena itu, marilah kita semua menyadari akan permasalahan yang ada disekeliling kita, dan jangan sampai karena kelalaian kita, Ramadhan pun meninggalkan kita tanpa memberi makna apa-apa dan kita termasuk orang-orang yang merugi, tanpa tahu apakah kita akan bertemu lagi tahun depan. Maka menangislah kita jika kita akan ia akan meninggalkan kita, menyesallah kita jika kita tidak memanfaatkan saat-saat itu dengan sebaik-baiknya. Dan jangan sebaliknya, justru kita gembira seakan kita lepas dari kepenatan, kelelahan berpuasa setelah itu kita kembali memenuhi hawa nafsu kita sepuasnya. Naudzubillah min dzalik.

           

Wallahu a’lam bishshawab

Jakarta, akhir 2004

Menyambut Ramadhan

Alhamdulillah, sampai hari ini Allah Ta’ala masih memberikan nikmat yang tak terkira pada kita. Dengan karuniaNya kita akhirnya mampu menjejakkan kaki  dan menghela nafas dalam suasana Bulan yang mulia, bulan Ramadhan, tamu yang selama ini sudah kita tunggu kedatangannya. Tamu yang membuat kita sibuk bersiap-siap agar tak kehilangan momen emasnya.

Sudah barang tentu, suasana euphoria kegembiraan sangat terasa di setiap dada kaum muslimin. Memang, itulah sikap yang seharusnya kita tampakkan ketika datang tamu agung itu. Namun demikian, alangkah baiknya jika kita menengok satu-dua hadits, bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan para sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya bagaimana menyambut Ramadhan..

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari Abu Hurairah ra,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فقَدْ حُرِمَ

“Ketika Ramadhan tiba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada para sahabatnya: “Telah datang pada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan pada kalian berpuasa pada bulan itu. Di bulan itu dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, syaithan-syaithan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang terhalang dari kebaikan malam itu, maka sesungguhnya ia terhalang dari kebaikan seluruhnya”

Ibnu Rajab Al-Hambali dalam syarah terhadap hadits di atas mengatakan,

“Hadits ini adalah dasar bagi sesama manusia untuk saling mengucapkan selamat atas kedatangan bulan Ramadhan. Bagaimana mungkin tidak bergembira seorang mu’min ketika pintu-pintu surga dibuka? Bagaimana mungkin tidak bergembira seorang pendosa ketika pintu-pintu neraka ditutup? Bagaimana mungkin tidak bergembira seorang berakal ketika syaithan-syaithan dibelenggu?”

Dari hadits yang singkat di atas dan syarah yang disampaikan oleh Ibnu Rajab rahimahullah tersebut, dapat kita simpulkan bahwa :

1.      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengkondisikan para sahabatnya ketika memasuki bulan Ramadhan, agar setiap mereka dapat mempersiapkan diri secara fisik, mental dan spiritual

2.      Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan para sahabatnya untuk bersikap gembira dengan kedatangan Ramadhan itu, dan dari perkataan Ibnu Rajab dapat kita katakan bahwa sesungguhnya kesempatan untuk bergembira itu tidak terbatas pada orang mu’min yang shaleh saja tapi bahkan orang mu’min pendosa pun mesti bergembira

3.      Menarik ketika Rasulullah menyebut Ramadhan dengan sebutan “Syahr Mubarak”. Apa sebenarnya makna yang terkandung di balik kata itu? Dalam hadits tersebut Rasulullah menyebutkan keberkahan sebagai sifat pertama yang disebutkan di awal yang dimiliki oleh bulan Ramadhan. Memang, pelajaran pentingnya adalah, sesungguhnya keberhasilan dalam segala amal tergantung apakah amal itu berkah atau tidak. Dan berkah, menurut definisi para Ulama adalah, ziyadatul khair fii syai’ (bertambahnya kebaikan dalam sesuatu). Jadi, yang dituntut dari kita adalah ketika memasuki bulan Ramadhan, grafik amal ibadah kita mesti naik, bertambah terus menerus, bukan stagnan apalagi turun. Begitulah tradisi yang diajarkan Rasulullah dan para sahabatnya.

 

Terakhir, mungkin saat ini tradisi yang baik sudah mulai muncul di antara kita, yaitu tradisi mengucapkan selamat kepada sesama kita dengan kedatangan bulan Ramadhan. Puluhan sms, mungkin ratusan, mampir di HP kita dalam beberapa hari terakhir. Namun barangkali ada satu hal yang mungkin kita lupa, yaitu membaca doa yang diajarkan Rasulullah ketika memasuki malam pertama bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya, dari Ibnu Umar ra,

 

ان النبي صلى لله عليه وسلم إذى رأى الهلال قال : اللهم أهله علينا بالأمن والإيمان ، والسلامة والإسلام ربنا وربك الله

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika melihat hilal (ramadhan) berdoa, “Allahumma Ahhilhu ‘alaina bil Amni wal Iman, was Salamah wal Islam, Rabbuna wa Rabbuka Allah…” (Ya Allah, munculkan ia kepada kami dalam keadaan aman, iman, keselamatan, dan Islam..Tuhan kami dan Tuhanmu adalah Allah”

 

Sudahkah anda membaca doa itu malam pertama kemarin?

Wallahu waliyuttaufiq…

010929