By: DR Abdullah As-Sufyani
Translated by: Faris Jihady, Lc
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, wa shallallahu ‘alaa rasuulihi wa mushtafaah..waba’du
Suaranya yang jernih memecah keheningan fajar, membuka pagi dengan nafas AlQur’an. Pada tiap lantunannya ada angin sejuk yang mengikat ruh, awan bening yang mencuci bersih jiwa, dan mengembalikan padanya nilai sebenar dari kehidupan.
Ayat terakhir yang dibacanya adalah perkataan Haq ini;
Lantunan itu berhenti dalam diam, lamat-lamat hilang bagaikan kabut yang menghilang perlahan dari pandangan mata, dan lenyap di ufuk langit.
Sedangkan aku, -bersamaan dengan berhentinya bacaan- baru memulai rihlah (pengembaraan) makna…
Tiga kata pertama dari ayat terakhir tersebut, membuatku terhenti merenung;
Aku mengulang-ulangnya nyaris berbisik, larut dalam kedalaman makna dan dentingannya yang menakjubkan, menciptakan efek kejut yang menyeruak melalui telinga dan masuk ke kedalaman jiwa.
Kau –pastinya- mendapati bahwa penjelasanmu tak cukup untuk menyingkap rahasianya, tak pula mampu kau ungkapkan apa yang kau rasa berupa “guncangan” dalam dirimu, kau pun tak kuasa kecuali semata mendengar baik-baik suaranya yang bergelombang dalam dirimu bagai ombak menderu di samudera luas.
Memoriku kembali ke masa lampau, saat ku bertanya pada sebagian teman; “mengapa kita tak punya majelis khusus semata untuk mendengarkan AlQur’an -saja- ? mengapa kita tak duduk melingkar di masjid seusai shalat, semata untuk mendengarkan seorang Qari’ dengan suara jernih melantunkan ayat AlQur’an?”
Kita telah melewati sekian lama dari hidup kita, duduk melingkar berporos kepada para khatib, ulama, ahli nasehat, mendengar perkataan makhluk, namun kita tak pernah –atau tak banyak- duduk melingkar dengan tenang laksana tenangnya gurun pasir, mendengarkan turunnya hujan Qur’ani yang membasahi tanahnya..
Ayat tersebut, -yang tercantum dalam Surat Al-Isra, mengandung inspirasi menakjubkan, yang mengisyaratkan pada makna yang telah hilang dari perhatian kita. Ayat tersebut mendeskripsikan AlQur’an dengan dua sifat, kemudian meminta kepada Rasul saw dua hal terkait dengan dua sifat tersebut.
Karena AlQur’an itu;
Ayat ini secara eksplisit dan terang, memberitahu kita bahwa AlQur’an turun “agar kau membacakannya kepada manusia”, karenanya, apakah kita membacakan AlQur’an kepada manusia dan memperdengarkan pada mereka kalam Rabb mereka?
Ayat ini juga secara jelas, tatkala kita melakukan tugas “membacakan”, hendaknya dibaca secara perlahan; ‘alaa mukts على مكث. AlMukts المكث bermakna: AlHuduu (tenang) dan AtTu’adah (perlahan).
Lafaz ini, AlMukts المكث secara halus dan lembut digunakan, bagaikan angin sejuk yang memeluk relung hati terdalam. Kemudian jika kau perdalam pandanganmu –sekali lagi- dan tanya dirimu; “Mengapa ungkapan Qur’ani mengutamakan penggunaan المكث dibandingkan yang lain? Seperti AlHuduu الهدوء atau AlButh’ البطء, misalnya”?
Kau akan temukan –dari lafaz tersebut- makna dan rahasia menakjubkan, ternyata المكث mengandung makna “intizhar”; menunggu dan tak terburu-buru. Makna ini secara eksplisit dikuatkan dalam berbagai literatur kebahasaan. Dalam Mu’jam Al-Maqaayiis: “Miim Kaaf Tsa, kata yang merujuk kepada makna berhenti dan menunggu” (5/345).
Sikap Intizhar; “menunggu” inilah yang mendorong Rasulullah saw –pemilik mukjizat ini- , dan pengikutnya –para pemikul AlQur’an/ hamalatul Qur’an-, untuk membacakan AlQur’an kepada manusia, kemudian menunggu, bersabar, dan konsisten berkesinambungan, karena dengan menunggu dan perlahan dalam membaca itulah akan muncul lahzah mawaatiyyah (saat yang menentukan) di mana ayat-ayat tersebut akan menguasai jiwa-jiwa manusia.
Jika kau bandingkan makna tersebut dengan firman Allah;
Kau dapat lihat bahwa dzikraa “peringatan” lahir dengan renungan hati dan fokusnya pendengaran. Coba perhatikan ungkapan qurani ini ألقى السمع alqaa assam’a “menggunakan pendengaran” yang diutamakan dibandingkan semata استمع istama’a “mendengar”, karena ketika “menggunakan pendengaran” diiringi dengan hadirnya hati, akan lahir dzikraa “ingat” yang merupakan puncak dari kehidupan hati.
Sesungguhnya mendengarkan AlQur’an adalah hidayah (petunjuk) agung yang seringkali kita lalaikan. Ia berbeda dengan ta’allum (belajar), bukan pula hifzh (menghafal) AlQur’an, tentu saja, masing2 ada kebaikannya. Namun tema “mendengarkan AlQur’an” sangat nampak dalam nash Qur’ani dalam kemasan yang menarik perhatian.
Boleh jadi, jika anda renungkan AlQur’an, anda akan dapati rahasia didahulukannya Sama’ (dengar) atas Bashar (melihat) dalam mayoritas ayat-ayatnya, karena pendengaran merupakan jendela pengetahuan yang paling berpengaruh dalam mengarahkan akal manusia.
Sesungguhnya Allah Ta’ala mewahyukan kitab mukjizat kepada nabiNya saw, dan diantara kemukjizatannya adalah bahwa AlQur’an membawa bukti kenabiannya berupa apa yang tak ada pada dirinya, maka ketika lafaz-lafaz AlQur’an yang diucapkannya bergetar mengangkasa dan ditangkap oleh telinga-telinga yang sadar, pasti mereka paham akan bukti bahwa ada “sesuatu” yang tak biasa yang tak pernah ada sebelumnya, mengalir dalam untaian kalimatnya.
Karenanya, Allah perintahkan nabiNya untuk menegakkan hujjah (argumentasi) kepada musyrikin Arab, dimana puncak dari hal ini adalah memperdengarkan kalam mukjizat ini;
Sesungguhnya itulah “saat yang menentukan” untuk menawarkan dakwah dan menegakkan hujjah (argumentasi), dan pilar utamanya adalah “mendengarkan kalam Allah”, dan renungkanlah bagaimana ungkapan Qur’ani dalam ayat tersebut lebih menggunakan istilah كلام الله “Kalam Allah” dibandingkan “AlQur’an” atau “Kitab” atau “AzZikr”, karena siapapun pendengar tatkala mendengarnya pasti langsung memahami bahwa yang didengar adalah “Kalam Allah”, dan siapa yang mendengar “Kalam Allah” maka ia berhak untuk mendapatkan tempat aman. Sementara itu, kita masih hidup dalam situasi ketakutan dan belum sampai “tempat aman”, karena –sampai saat ini- kita masih minimal dalam “mendengarkan dan memperdengarkan AlQur’an”.
Sesungguhnya harapan terpatri agar kita kembali membaca ulang dan mereview pandangan kita akan tema “mendengar dan memperdengarkan AlQur’an”, kita telah banyak dengar selain AlQur’an. Kita sudah sering tertakjub pada kalam manusia karena kefasihannya, tertawan oleh kesusastraannya, namun ia semata ketakjuban sesaat yang akan hilang seiring hilangnya pengucapnya, dan terhenti seiring habis huruf-hurufnya.
Sedangkan “mendengarkan Kalam Allah” menciptakan dalam jiwa manusia “guncangan” yang takkan habis, ketakjuban tiada henti, dan keberkahan yang menaungi pendengarnya dengan petunjuk dan kesalehan. Betapa sejarah dakwah telah mencatat kisah-kisah dimana “mendengar” AlQur’an merupakan “awal mula” kehidupan pendengarnya.
Akankah harapan ini terwujud, kita dapat menyaksikan majelis-majelis di rumah-rumah Allah dikelilingi oleh manusia agar mereka “mendengar Kalam Allah”, dengan suara ringan tak dipaksa, yang tak dicampuri oleh perkataan manusia? Kita ingin mewujudkan makna sebenarnya dari petunjuk Qur’ani yang berkata;
*terjemah bebas dari artikel yang ditulis oleh DR Abdullah AsSufyani, cendekiawan dan pemikir muda Arab Saudi, http://nama-center.com/ActivitieDatials.aspx?ID=229
Translated by: Faris Jihady, Lc
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, wa shallallahu ‘alaa rasuulihi wa mushtafaah..waba’du
Suaranya yang jernih memecah keheningan fajar, membuka pagi dengan nafas AlQur’an. Pada tiap lantunannya ada angin sejuk yang mengikat ruh, awan bening yang mencuci bersih jiwa, dan mengembalikan padanya nilai sebenar dari kehidupan.
Ayat terakhir yang dibacanya adalah perkataan Haq ini;
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا [الإسراء : 106]
Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.(QS Al-Isra:106)Lantunan itu berhenti dalam diam, lamat-lamat hilang bagaikan kabut yang menghilang perlahan dari pandangan mata, dan lenyap di ufuk langit.
Sedangkan aku, -bersamaan dengan berhentinya bacaan- baru memulai rihlah (pengembaraan) makna…
Tiga kata pertama dari ayat terakhir tersebut, membuatku terhenti merenung;
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ
(Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya)Aku mengulang-ulangnya nyaris berbisik, larut dalam kedalaman makna dan dentingannya yang menakjubkan, menciptakan efek kejut yang menyeruak melalui telinga dan masuk ke kedalaman jiwa.
Kau –pastinya- mendapati bahwa penjelasanmu tak cukup untuk menyingkap rahasianya, tak pula mampu kau ungkapkan apa yang kau rasa berupa “guncangan” dalam dirimu, kau pun tak kuasa kecuali semata mendengar baik-baik suaranya yang bergelombang dalam dirimu bagai ombak menderu di samudera luas.
Memoriku kembali ke masa lampau, saat ku bertanya pada sebagian teman; “mengapa kita tak punya majelis khusus semata untuk mendengarkan AlQur’an -saja- ? mengapa kita tak duduk melingkar di masjid seusai shalat, semata untuk mendengarkan seorang Qari’ dengan suara jernih melantunkan ayat AlQur’an?”
Kita telah melewati sekian lama dari hidup kita, duduk melingkar berporos kepada para khatib, ulama, ahli nasehat, mendengar perkataan makhluk, namun kita tak pernah –atau tak banyak- duduk melingkar dengan tenang laksana tenangnya gurun pasir, mendengarkan turunnya hujan Qur’ani yang membasahi tanahnya..
Ayat tersebut, -yang tercantum dalam Surat Al-Isra, mengandung inspirasi menakjubkan, yang mengisyaratkan pada makna yang telah hilang dari perhatian kita. Ayat tersebut mendeskripsikan AlQur’an dengan dua sifat, kemudian meminta kepada Rasul saw dua hal terkait dengan dua sifat tersebut.
- Sifat pertama; AlQur’an adalah bacaan; sesuatu yang dibaca, sebagaimana ia ternamai demikian وَقُرْآنًا
- Sifat kedua; AlQur’an tak diturunkan sekaligus, ia diturunkan berangsur-angsur, sepotong demi sepotong فَرَقْنَاهُ
Karena AlQur’an itu;
- Bacaan, maka bacakanlah ia kepada manusia; orang lain لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ
- Turun berangsur, maka bacalah ia secara perlahan عَلَى مُكْثٍ
Ayat ini secara eksplisit dan terang, memberitahu kita bahwa AlQur’an turun “agar kau membacakannya kepada manusia”, karenanya, apakah kita membacakan AlQur’an kepada manusia dan memperdengarkan pada mereka kalam Rabb mereka?
Ayat ini juga secara jelas, tatkala kita melakukan tugas “membacakan”, hendaknya dibaca secara perlahan; ‘alaa mukts على مكث. AlMukts المكث bermakna: AlHuduu (tenang) dan AtTu’adah (perlahan).
Lafaz ini, AlMukts المكث secara halus dan lembut digunakan, bagaikan angin sejuk yang memeluk relung hati terdalam. Kemudian jika kau perdalam pandanganmu –sekali lagi- dan tanya dirimu; “Mengapa ungkapan Qur’ani mengutamakan penggunaan المكث dibandingkan yang lain? Seperti AlHuduu الهدوء atau AlButh’ البطء, misalnya”?
Kau akan temukan –dari lafaz tersebut- makna dan rahasia menakjubkan, ternyata المكث mengandung makna “intizhar”; menunggu dan tak terburu-buru. Makna ini secara eksplisit dikuatkan dalam berbagai literatur kebahasaan. Dalam Mu’jam Al-Maqaayiis: “Miim Kaaf Tsa, kata yang merujuk kepada makna berhenti dan menunggu” (5/345).
Sikap Intizhar; “menunggu” inilah yang mendorong Rasulullah saw –pemilik mukjizat ini- , dan pengikutnya –para pemikul AlQur’an/ hamalatul Qur’an-, untuk membacakan AlQur’an kepada manusia, kemudian menunggu, bersabar, dan konsisten berkesinambungan, karena dengan menunggu dan perlahan dalam membaca itulah akan muncul lahzah mawaatiyyah (saat yang menentukan) di mana ayat-ayat tersebut akan menguasai jiwa-jiwa manusia.
Jika kau bandingkan makna tersebut dengan firman Allah;
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ [ق : 37]
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannyaKau dapat lihat bahwa dzikraa “peringatan” lahir dengan renungan hati dan fokusnya pendengaran. Coba perhatikan ungkapan qurani ini ألقى السمع alqaa assam’a “menggunakan pendengaran” yang diutamakan dibandingkan semata استمع istama’a “mendengar”, karena ketika “menggunakan pendengaran” diiringi dengan hadirnya hati, akan lahir dzikraa “ingat” yang merupakan puncak dari kehidupan hati.
Sesungguhnya mendengarkan AlQur’an adalah hidayah (petunjuk) agung yang seringkali kita lalaikan. Ia berbeda dengan ta’allum (belajar), bukan pula hifzh (menghafal) AlQur’an, tentu saja, masing2 ada kebaikannya. Namun tema “mendengarkan AlQur’an” sangat nampak dalam nash Qur’ani dalam kemasan yang menarik perhatian.
Boleh jadi, jika anda renungkan AlQur’an, anda akan dapati rahasia didahulukannya Sama’ (dengar) atas Bashar (melihat) dalam mayoritas ayat-ayatnya, karena pendengaran merupakan jendela pengetahuan yang paling berpengaruh dalam mengarahkan akal manusia.
Sesungguhnya Allah Ta’ala mewahyukan kitab mukjizat kepada nabiNya saw, dan diantara kemukjizatannya adalah bahwa AlQur’an membawa bukti kenabiannya berupa apa yang tak ada pada dirinya, maka ketika lafaz-lafaz AlQur’an yang diucapkannya bergetar mengangkasa dan ditangkap oleh telinga-telinga yang sadar, pasti mereka paham akan bukti bahwa ada “sesuatu” yang tak biasa yang tak pernah ada sebelumnya, mengalir dalam untaian kalimatnya.
Karenanya, Allah perintahkan nabiNya untuk menegakkan hujjah (argumentasi) kepada musyrikin Arab, dimana puncak dari hal ini adalah memperdengarkan kalam mukjizat ini;
{وإنْ أحدٌ مِنَ المشرِكينَ استجارَكَ فأَجِرْهُ حتى يسمعَ كلامَ اللهِ ثم أبلِغْهُ مَأمَنَهُ}. [التوبة: 6]
Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya...(QS AtTaubah:6)Sesungguhnya itulah “saat yang menentukan” untuk menawarkan dakwah dan menegakkan hujjah (argumentasi), dan pilar utamanya adalah “mendengarkan kalam Allah”, dan renungkanlah bagaimana ungkapan Qur’ani dalam ayat tersebut lebih menggunakan istilah كلام الله “Kalam Allah” dibandingkan “AlQur’an” atau “Kitab” atau “AzZikr”, karena siapapun pendengar tatkala mendengarnya pasti langsung memahami bahwa yang didengar adalah “Kalam Allah”, dan siapa yang mendengar “Kalam Allah” maka ia berhak untuk mendapatkan tempat aman. Sementara itu, kita masih hidup dalam situasi ketakutan dan belum sampai “tempat aman”, karena –sampai saat ini- kita masih minimal dalam “mendengarkan dan memperdengarkan AlQur’an”.
Sesungguhnya harapan terpatri agar kita kembali membaca ulang dan mereview pandangan kita akan tema “mendengar dan memperdengarkan AlQur’an”, kita telah banyak dengar selain AlQur’an. Kita sudah sering tertakjub pada kalam manusia karena kefasihannya, tertawan oleh kesusastraannya, namun ia semata ketakjuban sesaat yang akan hilang seiring hilangnya pengucapnya, dan terhenti seiring habis huruf-hurufnya.
Sedangkan “mendengarkan Kalam Allah” menciptakan dalam jiwa manusia “guncangan” yang takkan habis, ketakjuban tiada henti, dan keberkahan yang menaungi pendengarnya dengan petunjuk dan kesalehan. Betapa sejarah dakwah telah mencatat kisah-kisah dimana “mendengar” AlQur’an merupakan “awal mula” kehidupan pendengarnya.
Akankah harapan ini terwujud, kita dapat menyaksikan majelis-majelis di rumah-rumah Allah dikelilingi oleh manusia agar mereka “mendengar Kalam Allah”, dengan suara ringan tak dipaksa, yang tak dicampuri oleh perkataan manusia? Kita ingin mewujudkan makna sebenarnya dari petunjuk Qur’ani yang berkata;
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا (الإسراء : 106)
Wallahu A’lam*terjemah bebas dari artikel yang ditulis oleh DR Abdullah AsSufyani, cendekiawan dan pemikir muda Arab Saudi, http://nama-center.com/ActivitieDatials.aspx?ID=229
No comments:
Post a Comment