Serial Inspirasi Qur'ani
by: Faris Jihady
Dalam kehidupannya, manusia seiring waktu mengalami perkembangan dan perubahan. Dari kecil menjadi besar, dari muda menjadi tua, dari kanak-kanak menjadi dewasa. Perkembangan ini merupakan sunnatullah yang niscaya dalam roda kehidupan setiap jiwa. Salah satu satu unsur penting yang mengalami perkembangan adalah akal.
Akal pada hakikatnya adalah instrumen yang Allah ciptakan terintegrasi pada manusia. Instrument yang digunakan untuk berpikir, mencerna, merenung dan berinovasi. Dalam perjalanannya, penggunaan akal mengalami dinamika yang tak pernah berhenti. Setiap saat manusia menggunakan akalnya untuk bertanya, menguji realita, mencari jawaban, menyimpulkan, dan berinovasi pada ruang-ruang kehidupan yang terus terperbaharui.
Manusia muslim sejatinya menggunakan akal untuk mewadahi wahyu, mencerna kehendaknya, dan mengimplementasikan nilai wahyu dalam relung kehidupannya. Namun, sebagaimana fitrah akal, seringkali terbetik pertanyaan-pertanyaan; semisal;
Apa sebenarnya tujuan dari kehendak wahyu ini?
Perlukah dan untuk apa aku tunduk tanpa tanya?
Apa benar wahyu mengatur seluruh lembaran hidup ini?
Adakah batas antara ruang tunduk dan ruang inovasi?
Atau boleh jadi, muncul pertanyaan yang lebih kritis, semisal;
Apakah ketundukan ini merupakan kungkungan? Adakah kesempatan aku terbebas dari kungkungan ini?
Pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagian besar manusia berbeda dalam cara menyikapinya. Ada yang mengingkari pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dalam dirinya, sehingga tak berani mengungkapkannya atau mencari jawabannya. Ada yang menyimpannya namun tak lelah mencari jawabannya. Ada yang langsung mengungkapkannya dengan sikap verbal dan perilaku yang reaktif, mencari antithesa dari pertanyaan-pertanyaan tersebut (baca: “pemberontakan”).
Menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut –dalam hemat penulis- semestinya dengan cara perlahan, tenang, tak terburu-buru atau reaktif, sambil berusaha mencari jawaban-jawaban yang membuat akal dan jiwa qana’ah (menerima sepenuhnya).
Jika demikian, apakah hakikat ketundukan kita terhadap wahyu?
Sejenak mari kita baca (tilawah) dengan tilawah yang sebenar-benar (haqqa tilawatih), ayat taslim (penyerahan dan ketundukan) di bawah ini;
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS Annisa: 65).
Para cendekiawan (mufassir) bertutur, ayat ini turun tersebab antara dua peristiwa –dimana para ulama berbeda tentang sebab mana yang paling kuat;
- Tercatat dalam sejarah yang melatarbelakangi ayat ini, tatkala Zubair ibn Awwam berselisih pandang dengan seorang sahabat Anshar, tentang pengairan tanah yang melewati kebun mereka berdua. Rasulullah mendahulukan Zubair, yang kemudian membuat Anshar tersebut bertanya –setengah protes-, “Adakah karena ia sepupumu, ya Rasulullah?”. Pertanyaan yang membuat air wajah Rasulullah saw, berubah.
- Sebagian cendekiawan berpendapat, ayat ini melanjutkan ungkapan sebelumnya pada ayat 60, tentang orang munafik dan Yahudi yang berselisih, si Munafik mengajak berunding di ke pemuka Yahudi, karena tahu mereka menerima suap, sementara si Yahudi mengajak mereka berunding kepada Rasulullah saw, karena tahu keadilan yang pasti ada.
Demikian tutur At-Thabari, dalam Jami’ul Bayan-nya
Terlepas apa peristiwa yang melatari ayat ini, karena “Al-‘Ibratu bi ‘Umumil Lafzhi laa bi Khusu AsSabab” (yang diambil ibrah adalah keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab”, begitu kaidah mencatat.
Terekam beberapa pelajaran penting dari teks ayat, yang merubah mafaahiim (persepsi) lama dengan persepsi baru tentang hakikat keimanan dan –tentu saja- ketundukan.
Coba kita lihat sekali lagi, ayat tersebut;
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka;
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS Annisa: 65).
Penegasan kesalahan persepsi lama -yang memaknai ketundukan semata klaim ucapan, atau pun label semata- dan kebenaran persepsi baru tentang hakikat ketundukan diawali dengan ungkapan, “Falaa waRabbika, maka demi Rabbmu”, sumpah dengan kedudukan Dzat yang Maha Tinggi, yang menunjukan penekanan hakikat makna yang disampaikan.
Kemudian, Allah Ta’ala menegaskan persepsi dan pemahaman baru tentang kesempurnaan ketundukan, yang menuntut tiga syarat;
1. Tahkim, menjadikan syariat sebagai pemutus, dalam perkara yang diperselisihkan, bahkan termasuk perkara serumit apapun karena lafaz yang digunakan “syajara bainahum”, yang menunjukkan kerumitan persoalan.
2. Menihilkan haraj (rasa ragu, keberatan, tertekan) yang terlintas dalam jiwa,
3. Taslim, (penyerahan diri) dengan totalitas ketundukan.
Ibnul Qayyim, memberi catatan atas ayat ini,
“…inilah hakikat ridha dan kerelaan atas hukumNya, karena Tahkim; bukti Islam, Nihilnya rasa berat; bukti Iman, sedangkan Taslim (penyerahan diri) adalah hakikat Ihsan..”
Menilik ungkapan Ibnul Qayyim, ternyata tiga hal tersebut adalah ungkapan lain dari klasifikasi tingkatan ketundukan seseorang;
- Tahkim bersifat lahir, verbal, nampak. Kapanpun kita mendapati persoalan, kita merujuk pada wahyu, baik dalam perselisihan, apalagi dalam perkara di luar perselisihan. Ini mengajarkan pada kita tiap manusia tentang kesatuan referensi (marji’iyyah) dalam setiap aktivitas kehidupan kita, cara pandang kita, serta gerak-gerik keseharian kita.
- Sedang nihilnya rasa berat dan ragu (haraj), bersifat batin, keyakinan, esoteris. Meyakini kebenaran apapun kehendak wahyu.
- Adapun Taslim (penyerahan diri dengan totalitas), merupakan puncak dari keyakinan yang terekspresi dalam ketundukan yang total, menghambakan diri dengan total, layaknya disaksikan oleh Sang Pemilik Jiwa.
Boleh jadi, saat kita membaca konklusi tersebut, terkesan jiwa manusia yang terkekang dengan kewajiban tunduk pada kehendak wahyu, karenanya Sayyid Quthb berkata -setelah mengomentari ayat ini-,
“…sesungguhnya manhaj (cara hidup) ini, syariat yang diserukan untuk dijadikan sumber hukum satu-satunya, keputusan yang mesti diterima dengan rela dan sepenuh hati, itu semua adalah cara hidup yang mudah, syariat yang ringan, putusan yang penuh kasih sayang, tak membebani di luar batas kemampuan, tidak pula kesulitan yang memberatkan, tak pula meminta pengorbanan yang menyulitkan.
Karena Allah Maha Tahu kelemahan manusia, mengasihi kelemahannya, dan Dia Maha Tahu jika manusia dibebani kewajiban berat, takkan ada yang melaksanakannya kecuali sedikit…”
Itulah hakikat ketundukan, yang semestinya manusia muslim mengukur dengan standar tersebut, agar setiap jiwa sebelum mencari jawaban tiap-tiap pertanyaan yang membuncah dalam akal, dengan membuka sudut pandang lain berupa pendekatan jiwa, karena -boleh jadi- jawaban muncul bukan dari jawaban ilmiah yang memuaskan akal, atau mengenyangkan logika, namun, justru terletak pada kematangan jiwa yang tertempa.
Riyadh, 310313
No comments:
Post a Comment