Oleh : As Syahid Sayyid Qutb*
Alih Bahasa : Faris Jihady, Lc
Malam
Lailatul Qadr, adalah malam ketersambungan mutlak antara dunia dengan
langit, momen bermulanya penyampaian AlQur’an ke hati nabi Muhammad saw,
momen yang penuh keagungan yang belum pernah dialami sebelumnya dalam
sejarah kehidupan manusia. Momen yang sangat agung, agung dalam
kandungan dan jejak pengaruhnya dalam kehidupan manusia seluruhnya.
Nash-nash
Al-Qur’an yang menyebutkan peristiwa agung ini begitu bercahaya dan
penuh dengan pencerahan dengan cahaya Allah yang benderang, seiring
dengan cahaya malaikat dan Jibril yang berpendaran sepanjang malam dalam
ruang antara langit dan bumi.
Malam
Lailatul Qadr yang dibicarakan surat ini adalah malam yang sama
sebagaimana disebutkan dalam Surat AdDukhan (3-5); “sesungguhnya Kami
telah menurunkannya pada malam yang diberkahi, sungguh Kamilah yang
memberi peringatan, pada malam itu ditetapkan segala urusan yang penuh
hikmah, yaitu urusan dari sisi Kami”.
Nama malam ini
adalah “Lailatul Qadr”, yang memiliki dua kemungkinan makna; 1) takdir
dan tadbir (penentuan dan pengaturan, 2) kemuliaan dan kedudukan. Kedua
makna ini bersesuaian dengan momen peristiwa besar yang agung itu,
peristiwa wahyu dan risalah yang menyambungkan antara kehidupan makhluk
di atas muka bumi dengan kemuliaan langit, tak ada satu pun peristiwa di
atas muka bumi yang menyamai keagungan dan kemuliaan peristiwa wahyu
dan risalah tersebut, karena itulah ia lebih baik dari seribu bulan.
Seribu
bulan, penyebutan angka di sini tidaklah berarti pembatasan jumlah,
namun dimaksudkan darinya kadar jumlah yang banyak sebagaimana kebiasaan
Al-Qur’an. Betapa banyaknya ribuan bulan dan tahun yang terlewat tanpa
meninggalkan jejak dalam kehidupan manusia, tidak sebagaimana jejak yang
telah ditinggalkan oleh peristiwa agung penuh berkah ini, Lailatul
Qadr.
Hakikat keagungan malam ini
melampaui batas pemahaman manusia, karena itulah ia menyapa manusia, “wa
maa adraka maa lailatul qadr, tahukah kamu apa malam lailatul qadr
itu?”, sebab itulah keagungan malam ini tak memerlukan mitos-mitos yang
diada-adakan. Ia adalah malam yang agung karena Allah memilihnya sebagai
momen bermulanya diturunkan Al-Qur’an, bermulanya pencerahan eksistensi
makhluk dengan cahaya Al-Qur’an, dan penyelimutan kedamaian yang
tercurah dari Allah untuk kehidupan manusia.
Keagungan
malam ini seiring dengan keagungan Al-Qur’an yang mengandung
nilai-nilai mulia yang mengubah manusia, baik pada aspek keyakinan,
persepsi, syari’ah, etika, yang semuanya itu mengandung kedamaian bagi
jiwa manusia di atas muka bumi.
Keagungan
malam ini juga dideskripsikan surah ini begitu menakjubkan, bagaikan
mahrajan (festival) yang diperindah dengan turunnya para malaikat, dan
secara khusus Jibril yang bertebaran antara langit dan bumi menyebarkan
kedamaian.
Di malam ini ditetapkan
setiap takdir dan urusan dengan penuh hikmah. Diletakkan asas-asas,
nilai, dan timbangan-timbangan. Ditetapkan pula berbagai takdir yang
lebih besar dari takdir individu, yakni takdir berbagai bangsa, rakyat,
dan negara.
Patut disayangkan, manusia
telah melalaikan keagungan malam Lailatul Qadr, melupakan hakikat
peristiwa agung itu, peristiwa risalah. Tersebab kelalaian dan kealpaan,
mereka kehilangan momen kebahagiaan dan kedamaian hakiki bagi jiwa,
rumah tangga, dan masyarakat, selain itu mereka juga kehilangan nikmat
Allah berupa momen terindah dalam hidup. Mereka begitu merugi, sangat
merugi, meski terpenuhi segala sarana produksi dan kebutuhan hidup.
Bagi
mereka yang merugi, cahaya indah yang menyinari jiwanya telah redup,
momen kebahagiaan yang akan membawa mereka menuju kedudukan tinggi telah
luput, dan kedamaian yang telah mengguyur jiwa dan hati telah hilang.
Semua itu tak bisa ditukar dengan apapun.
Kita
–orang orang beriman- diperintahkan agar tak melalaikan momentum ini,
Lailatul Qadr. Rasulullah saw telah memberikan kita cara mudah untuk
menghidupkannya agar jiwa kita selalu tetap tersambung dengannya, juga
agar tetap tersambung dengan peristiwa semesta besar yang pernah terjadi
pada malalm itu, turunnya Al-Qur’an. Karena itulah beliau dorong kita
untuk menghidupkannya melalui Qiyam (shalat) malam itu, mencari-cari
malam itu, mengintip-intipnya pada 10 hari terakhir Ramadhan.
Sebagaimana dalam shahihain; “carilah Lailatul Qadr itu di 10 hari
terakhir Ramadhan”, dalam riwayat lain di shahihain; “sesiapa yang Qiyam
(shalat) malam Lailatul Qadr karena iman dan ihtisaban (mengharapkan
balasan dari Allah) niscaya diampuni dosanya yang telah lampau”.
Islam
bukanlah penampilan lahiriah semata, karena itulah Rasulullah saw
menyatakan, “imanan wa ihtisaban”, agar Qiyam (shalat) malam tersebut
betul betul dalam rangka menghidupkan makna-makna agung yang dikandung
oleh Lailatul Qadr, agar terpenuhi tajarrud (totalitas) dan keikhlasan
semata kepada Allah. Dengan itu ada hakikat tertentu yang ikut berdetak
bersama jantung tatkala dilaksanakan Qiyam tersebut, hakikat yang
terikat dengan tujuan dari diturunkannya Al-Qur’an.
Manhaj
Islami (metode Islam) dalam tarbiyah (mendidik) adalah selalu
mengaitkan antara ritual ibadah dengan hakikat aqidah dalam nurani, dan
menjadikan ibadah sebagai wasilah (sarana) untuk menghidupkan
hakikat-hakikat tersebut, menjelaskannya, dan mengokohkannya serta
terjelmakan dalam gambaran yang hidup dan tidak berhenti semata pada
level pemikiran.
Telah terbukti inilah
manhaj satu-satunya yang paling layak untuk menghidupkan
hakikat-hakikat tersebut, memberikannya ruang untuk bergerak di alam
nurani dan perilaku. Sesungguhnya pemahaman teoritis semata akan
hakikat-hakikat tersebut tanpa dukungan ritual ibadah takkan
mengokohkannya, tidak pula menggerakkannya dengan gerakan yang
benar-benar berpengaruh dalam kehidupan pribadi dan jama’ah (komunitas).
Dan sesungguhnya pengaitan antara penyebutan momentum Lailatul Qadr
dengan anjuran untuk Qiyam saat itu dengan “imanan wa ihtisaban” adalah
bagian kecil dari manhaj Islami ini.
*dialihbahasakan dari Tafsir Surat Al-Qadr dalam Fi Zhilalil Qur’an, dengan penyesuaian seperlunya
No comments:
Post a Comment