by: Faris Jihady
Tiga Tahun sudah bermukim di
negeri ini, tanah Nejd, 900 km arah barat tanah Hijaz dimana Haramain berada. Tiga
kali pula berturut-turut saya melewati hari-hari utama Dzulhijjah ini di Tanah Suci, berkesempatan menunaikan panggilan Allah, bersimpuh di Arafah, beratapkan
langit Muzdalifah, dan mencium tanah Mina, sambil tak lepas menengadah ke
langit yang menaungi tanah suci itu.
Tahun ini saya menyengaja tak
berangkat dengan berbagai alasan pribadi. Saya kira tak ada rasa apa pun
tatkala melewati hari-hari ini. Namun tak menyangka saat puncak Haji tiba, Hari
Arafah, memoriku melayang kembali saat-saat di hari yang sama 3 tahun terakhir.
Bersama lautan manusia yang memutih ihram di bawah matahari yang menyengat, tatkala
airmata menetes tak henti, dan lisan tak lekas kering memohon ampun. Kerinduan pada
detik-detik itu membuncah. Iri kepada mereka yang sedang menikmati saat-saat
terdekat mereka dengan Rabb, melepas segala status, kedudukan, dan pandangan
manusia.
Satu hal yang mungkin luput
ketika lewati hari ini 3 tahun terakhir, tak begitu nyata dalam benakku apa
yang Rasulullah lakukan saat-saat beliau lewati hari ini, ketika jalani haji
terakhirnya, Wada’. Hari yang beliau jamin sebagai hari doa terbaik; “sebaik-baik
doa, adalah doa hari Arafah” [1]. kesamaran apa yang beliau lakukan dalam benak
saya, boleh jadi karena saya tak begitu penasaran, atau mungkin merasa sudah
cukup ilmu, merasa paham tatacara haji, astaghfirullah…
Ketika kerinduan muncul, justru
inilah yang mendorongku membuka kembali referensi yang merekam ekspresi,
tindak, dan laku manusia terbaik itu, shallallahu ‘alayhi wa sallam, saat
beliau lewati hari ini, hari dimana Allah Azza wa Jalla membanggakan hamba2Nya
yang berdoa kepadaNya di hadapan malaikat seraya berfirman, “Apa yang mereka
minta?” [2] dan Allah Maha Tahu akan pinta hamba2Nya.
Perhatianku jatuh pada hadits
yang ditutur oleh Jabir ibn Abdullah ra, tatkala ia ditanya bagaimana haji
Rasulullah saw, ia bercerita sangat panjang, beberapa lembar Shahih Muslim dan
Sunan Abi Daud merekam huruf-huruf tersebut. Aku tak begitu berani cantumkan
semua disini, khawatir lancang karena tidak tepat mengantarkan makna yang
ditutur oleh Jabir, sahabat agung itu, namun hanya beberapa pesan dan fragmen
pada momen besar terakhir nabi, Haji Wada’ tatkala beliau menyampaikan
khutbahnya yang terkenal itu, khutbah Wada’ di Arafah.
Kebanyakan sahabat saat itu belum
memahami maksud dari istilah haji wada’, istilah itu memang sudah dikenal,
namun mereka tak begitu paham apa yang dimaksud wada’ (perpisahan disini),
ketika beliau wafat sadarlah mereka bahwa itu adalah pesan-pesan perpisahan
nabi sebelum beliau wafat, sebagaimana dituturkan Ibn Umar ra dalam Shahih
Bukhari.
Kira-kira menurutmu hal-hal apa
yang akan menjadi pesan perpisahan manusia agung itu, shallallahu alayhi
wasallam? Apakah ia akan mengucapkan selamat tinggal? Apa ia akan bicara
tentang harta warisan layaknya manusia umumnya? Ataukah kekuasaan? Atau apa?
Mari kita tengok pesan pertama
beliau dalam fragmen ini, tatkala Jabir ra bertutur; [3]
“ketika matahari mulai
tergelincir (tengah hari), beliau menaiki Qashwa (untanya), mengendarainya
hingga tiba di tengah lembah, kemudian bertahmid dan memuji Allah dan memulai
khutbahnya; “sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram atas
kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan haram ini, di tanah
haram ini”.
Allah menggerakkan lisan nabiNya
untuk menyampaikan awal dari pesan terakhirnya, tentang keharaman dan kesucian
harta dan darah muslim, sesuci dan seharam hari itu, bulan itu dan tanah haram
itu. Betapa dalam dan kuat pesan ini, menyetarakan keharaman darah dan harta dengan
haramnya waktu dan tanah haram itu. Dengan kata lain, penumpahan darah dan
perampasan harta muslim, setara dengan penistaan terhadap kesucian waktu dan
tanah haram. Betapa kuat pesan ini, dan betapa jauhnya kita –saat ini-
melanggar pesan ini. Darah tumpah begitu
murah, harta terampas begitu mudah. Hari-hari kita nyaris akrab dengan
pembantaian di sana dan di sini. Ya Allah.. pesan pertama perpisahan beliau,
justru menjadi hal yang paling sering terlanggar.. Beliau, manusia agung itu
tak berbicara tentang pribadinya, tapi berbicara tentang kita; ummatnya. Pesan penting
yang mengekspresikan kekhawatiran tentang generasi berikut…
Pesan tersebut beliau kuatkan
dalam tutur berikutnya;
“…ketahuilah bahwa segala
sesuatu dari masa jahiliyyah adalah batal di bawah kakiku ini, penuntutan darah
era jahiliyyah batal…”
Sebagian sahabat menafsirkan
maksud beliau saw, “dahulu tatkala beliau disusui di Bani Sa’ad, mereka
diperangi oleh Bani Hudzail”. Beliau membatalkan segala apa yang menjadi
kesepakatan terkait darah pada era jahiliyyah, demi kedamaian generasi masa
depan. Saya –kalau boleh lancang menyimpulkan- perilaku jahiliyah tak terbatas
oleh waktu saja, namun ketika darah muslim tertumpah dan harta masih terampas,
maka sifat jahiliyyah masih ada.
Berikutnya, beliau berpesan;
“…Riba Jahiliyyah batal
(haram) hukumnya”
mungkin bagi sementara orang agak
aneh, nampak sekilas tak cocok dengan situasi kesakralan Arafah, beliau pesan
tentang hubungan ekonomi antarmanusia pada pesan perpisahannya.
Penyebutan keharaman Riba
bukanlah pertama kalinya semata dalam peristiwa ini, namun sudah ada ayat-ayat
dalam Al-Qur’an yang menegaskan keharaman Riba sebelummya, namun beliau
tegaskan lagi dalam pesan-pesan perpisahannya. Apa gerangan alasan penegasan
lagi dalam pesan haji, khutbah wada’ ini? Boleh jadi –wallahu a’lam- lagi-lagi
karena ini pesan terakhir, perhatian nabi terhadap berbagai aspek kehidupan
muslimin pasca beliau pergi, tak semata soal ‘ubudiyah (penghambaan) kepada
Allah semata, namun juga soal hubungan sosial sebagaimana tersebut pada pesan
pertama, dan hubungan ekonomi antarmanusia secara adil, sebagaimana disiratkan
pesan terkait Riba ini.
Selanjutnya, pesan beliau,
“…takutlah kepada Allah dalam
urusan wanita (isteri2), sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan
amanah Allah, dan menghalalkan mereka dengan kalimat Allah..”
Anda, saya, dan kita semua bisa
memahami pentingnya pesan ini, tentang rumah tangga. Ah, mungkin saya –practically-
belum begitu paham karena belum mengalaminya, namun saya pikir kesimpulan saya
tentang pentingnya berpandai-pandai bermuamalah dengan isteri sesuai kewajiban
dan hak yang ditetapkan syariat, tak berbeda dengan saudara-saudara saya yang
sudah berumahtangga. Bagi para isteri, anda sangat spesial, karena anda
disebut-sebut dalam pesan perpisahan nabi dihadapan –dalam sebuah riwayat- 10
ribu sahabatnya.
Rangkaian pesan-pesan perpisahan
tersebut ditutup dengan fragmen berikut,
“…sesungguhnya aku telah
meninggalkan di tengah kalian sesuatu yang kalian takkan pernah tersesat selama
kalian memegangnya erat; Kitabullah. Dan kalian kelak akan ditanyai tentangku,
kalian akan berkata apa tentangku?”
Mereka menjawab, “Kami
bersaksi bahwa engkau –Ya Rasulallah- telah menyampaikan, melaksanakan, dan
menasehati”.
Apa respon beliau? Beliau mengangkat
telunjuknya ke langit seraya berkata;
“Allahumma Isyhad… Ya Allah
saksikanlah
Allahumma Isyhad… Ya Allah
saksikanlah
Allahumma Isyhad… Ya Allah
saksikanlah”
Fragmen dialog ini -menurutku- mengharubiru, semestinya
membuat menangis, atau minimal terharu bagi siapa saja yang membaca dan mengimajinasinya.
Siapa yang ragukan kejujuran dan ketulusan nabi, shalllallahu alayhi wa sallam
dalam dakwah setelah sekian lama? Namun beliau masih menanyai pengikutnya. Ya Allah..
Ada yang ragukan ketulusan para
sahabat dalam ber-ittiba’ ? siapa di antara kita yang pernah mengulang
kata-kata para sahabat ini; “Kami bersaksi bahwa engkau –Ya Rasulallah-
telah menyampaikan, melaksanakan, dan menasehati” . kita justru sering
beralasan, “saya belum tahu”, “saya belum siap”, pada hal-hal sederhana
yang menjadi kewajiban tiap muslim. Kesempurnaan agama telah ditegaskan Allah
dalam QS Al-Maidah ayat 3, yang bermakna telah selesainya tugas nabi dalam
membimbing, menjelaskan dan mengarahkan.
“Allahuma Isyhad…” beliau ucapkan
tiga kali berturut-turut di hari Wada’ (perpisahannya), mengekspresikan kuatnya
ketulusan dalam menyampaikan dakwah dan membimbing manusia, serta paripurnanya
tugas beliau tak lama lagi. Adakah di antara kita –khususnya para penyampai kebaikan-
menegaskan ketulusan jiwa dengan kata tersebut; “ya Allah saksikanlah” ?
Selepas khutbah bersejarah,
didirikanlah shalat zhuhur dan ashar dengan dua iqamah berturut-turut, kemudian
–cerita Jabir,
“…, kemudian berdoa dengan
berdiri sekian lamanya hingga terbenam matahari”.
Ya, anda garisbawahi, beliau
berdoa sangat panjang, selepas zuhur dan asar yang ditunaikan di waktu zuhur,
beliau berdoa, dalam keadaan berdiri. Sampai kapan? Hingga terbenam matahari.
Semoga shalawat serta salam selalu tercurah kepada beliau, keluarganya, dan
pengikutnya hingga akhir masa, Allahuma shallii wa sallim wa baarik ‘alaihi..
Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu
Akbar
La Ilaaha illa Allahu huwa Allahu
Akbar
Riyadh, sore 9 Dzulhijjah 1434H
___________________________________________________________________________
*catatan ini hanya renungan ringan, menggali inspirasi dari pesan-pesan nabi di hari Arafah, tidak menggambarkan semua apa yang diriwayatkan terkait peristiwa Wada’.
[1] Hadits Hasan diriwayatkan
Imam AtTirmidzi
[2] Hadits Shahih diriwayatkan
Imam Muslim, dan Nasa’i
[3] Kisah Haji Wada’
diceritakan panjang lebar dalam hadits Jabir ibn Abdullah yang tercantum dalam
Shahih Muslim no 1218, dan Sunan Abi Daud, Kitabul Manasik, bab Shifat Haji
Nabi, no 1905
ralat sedikit: "900 km arah barat tanah Hijaz", yang benar: "900 km arah timur tanah Hijaz".
ReplyDeletealllaahummaa shalli wa sallim wa baarik 'alaih T_T
ReplyDeleteاللهم صلِّى على محمَّد , terima kasih kang atas catatan pengingatnya.
ReplyDelete