Serial Inspirasi Qur’ani
by; Faris Jihady
Jawaban atas pertanyaan (dan keraguan)
Suatu ketika pada era Makkah, kegelisahan melanda Musyrikin Quraisy disebabkan bertambahnya pemeluk Islam dan banyaknya orang bertanya –terutama para peziarah dari berbagai kabilah dari luar Makkah- tentang kenabian Muhammad saw. Kegelisahan ini mendorong mereka mengutus beberapa pemuka mereka; Uqbah ibn Abi Mu’aith dan Nadhar ibn AlHarits, pergi ke Yatsrib untuk bertanya kepada Pemuka Yahudi tentang kebenaran kenabian Muhammad saw.
Para Pemuka Yahudi berkata kepada mereka berdua, “tanyakan padanya (Muhammad) tentang 3 hal; (1) Tentang sekelompok pemuda di masa lalu yang pergi jauh, (2) tentang seorang lelaki yang berjalan mengelilingi bumi hingga pelosok timur dan barat, dan (3) apa itu ruh.., jika ia dapat menjawab kalian pada dua pertanyaan pertama, dan tidak tahu pada tanya ketiga, sesungguhnya dia-lah sosok utusan, jika tidak, maka semata dia pendusta”.
Kembalilah kedua pemuka Quraisy itu pada kaumnya, bersama mereka kemudian mendatangi manusia agung itu, Muhammad saw, seraya berkata; “Hai Muhammad, beritahu kami tentang (1) sekelompok pemuda yang pergi jauh di masa lalu yang kisah mereka mengandung keajaiban, (2) lelaki yang berjalan mengelilingi bumi hingga pelosok timur dan baratnya, dan (3) apa itu ruh…”.
Lelaki agung itu, Muhammad saw, menjawab; “aku akan beritahu kalian tentang apa yang kalian tanyakan, besok..”. tanpa berkata. “InsyaAllah”.
Esok hari tiba tanpa kedatangan Jibril membawa jawaban yang diharapkan, hingga 15 hari lamanya wahyu tak membawa kabar apapun. Rasulullah saw bersedih, gelisah, gundah gulana. Penduduk Makkah –yang menunggu nunggu berita- mulai diliputi keraguan, sebagian lagi berharap. Tertanam di benak mereka, “Muhammad telah menjanjikan jawab pada kita, sudah lewati hari ke 15 tanpa ada kabar dari Muhammad”. Pembicaraan Ahlu Makkah telah menambah kegelisahan pada jiwa Sang Utusan, shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika kegundahan memuncak dan kegelisahan bertambah, datanglah Jibril membawa wahyu dari Allah Ta’ala dengan Surah Al-Kahfi yang secara tegas dan eksplisit membawa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Musyrikin Quraisy, sekaligus membawa teguran kepada nabi atas kegelisahan yang mendera jiwanya, dan atas kelalaiannya menyerahkan kehendak kepada Allah.
Surat ini secara eksplisit menjawab 2 pertanyaan pertama;
- Tentang sekelompok pemuda, wahyu memberi jawaban; “…demikianlah kami ceritakan padamu, berita tentang mereka dengan sebenar-benarnya, sesungguhnya mereka pemuda yang telah beriman kepada Rabb mereka, dan kami tambahkan pada mereka petunjuk” [QS Al-Kahf:13].
- Tentang lelaki yang berjalan mengelilingi bumi, Kalam Allah memberi tanggapan; “…dan mereka bertanya padamu tentang Dzul Qarnain, katakanlah: aku akan bacakan pada kalian dari kisahnya sebagai pengingat…” [QS Al-Kahfi:83].
Sedangkan tentang Ruh yang ditanya tentang hakikatnya, Allah beri jawaban secara terpisah dalam surat lain; “…dan mereka bertanya padamu tentang Ruh, katakanlah: Ruh adalah bagian dari urusan Tuhanku..” [QS Al-Isra:85].
Kisah di atas yang melatarbelakangi turunnya surat Al-Kahfi ini menggambarkan suasana pertarungan opini dan pemikiran antara dakwah kenabian dan kekufuran. Ketika manusia mulai perlahan-lahan menerima dan tertarik kepada dakwah Rasulullah saw karena rasionalitas dan kesesuaiannya dengan fitrah kemanusiaan, musuh-musuhnya tak kekurangan ide untuk mendistorsi opini publik, bahkan tak segan berkonsultasi dengan pemilik pengetahuan teologi pada masa itu, Ahl Kitab (Yahudi).
Pada sisi lain, kegelisahan yang menguasai jiwa nabi tatkala terputus wahyu sementara, mengarahkan pembaca Surah ini pada dua hal penting;
- Kebenaran wahyu semata datangnya dari Allah Ta’ala, tanpa ada campur tangan sedikitpun dari nabi, hal ini membantah semua tuduhan dari dulu hingga sekarang, sejak era Quraisy hingga era orientalis tentang upaya manusiawi dalam penyampaian wahyu. Logika sederhana menjawab; jika ada campur tangan manusiawi, mengapa beliau –shalllallahu ‘alaihi wa sallam- begitu gelisah ketika terputus wahyu? Dan mengapa wahyu tersebut mencakup cerita tentang kisah masa lalu –yang notabene- adalah hal ghaib? Dari sini kita dapat temukan hikmah mengapa keimanan kepada yang ghaib disebut sebagai ciri utama orang bertakwa, karena pada hakikatnya ia-lah pangkal dari semua bentuk cabang keimanan.
- Kemestian penyerahan semua kuasa dan kehendak kepada Allah Ta’ala, meski dalam situasi sulit. Teguran dari Allah kepada nabiNya karena lupa berkata “InsyaAllah”, menunjukkan keharusan hal demikian. Kedudukan kenabiannya tak membuatnya luput dari keharusan menyerahkan kuasa dan kehendak kepada Rabbnya. Namun demikian, kealpaannya sebagai manusia tak melepaskan status ke-maksuman-nya sebagai nabi, shallallahu ‘alaihi wasallam.
Karakteristik khas Surah Al-Kahfi
Surat ini memiliki karakteristik yang khas, dengan corak cerita yang mendominasi sebagian besar kandungannya. Ada 4 kisah utama yang tercantum secara apik dalam rangkaian ayat Surah Al-Kahfi ini;
- Kisah Ashabul-Kahfi (Penghuni Gua)
- Kisah Shahibul Jannatain (Pemilik Dua Kebun)
- Kisah Musa as dan Khadir
- Kisah Lelaki Hebat yang berjalan ke pelosok bumi dari Timur hingga Barat
Sedangkan selebihnya adalah sedikit isyarat tentang kisah Adam as dengan Iblis, serta ayat-ayat yang menguatkan dan menekankan pentingnya kisah-kisah tersebut.
Semua kisah tersebut, meski pelaku, latar dan plotnya berbeda, kata seorang ‘alim cendekiawan dari India, Abul Hasan An-Nadwy, terhubung oleh satu rangkaian tali yang mengikat secara keseluruhan dari awal hingga akhirnya, rangkaian tali tersebut adalah pergulatan antara keimanan dan materialism, [1] ia berkata, “sesungguhnya surat Al-Kahfi menggambarkan kisah pertarungan antara dua teori, dua aqidah, dan dua suasana kejiwaan; pertarungan antara tunduk kepada materi dengan keimanan kepada Allah dan hal ghaib..., antara jiwa yang memandang segala hal berdasarkan sabab musabab materi dengan jiwa yang yakin dengan campur tangan Rabbani…”. Karenanya, AnNadwy menambahkan, lafaz kunci yang menjadi ruh dari Surah ini terletak pada ayat;
مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّه [الكهف : 39]
“…semua atas kehendak Allah, tiada kekuatan kecuali Allah…” (39).
Cendekiawan lain berpendapat [2], tema utama yang mendominasi berbagai kisah dan fragmen yang tercakup dalam surat Al-Kahfi adalah; perlindungan dari fitnah (ujian) yang menguji dan menyerang agama dan keimanan seseorang, bahkan cendekiawan tersebut berpendapat bahwa nama Surat Al-Kahfi (Gua) mewakili tema ini, tema perlindungan. Gua dalam kisah Ashabul Kahfi menjadi tempat berlindung anak-anak muda dari tekanan dan konspirasi terhadap agama mereka yang dilancarkan oleh orang-orang kafir, dari titik ini ditarik kesimpulan bahwa berpegang teguh pada Kitabullah dan sunnah nabiNya menjadi tempat perlindungan dari berbagai ujian dan fitnah yang menyerang. Hal ini tergambar misalnya dalam ayat;
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا [الكهف : 27]
“…dan bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari kitab Rabbmu, tak ada yang mampu mengubah kalimat-kalimatnya, dan takkan pernah kau temukan selain darinya tempat berlindung…” (27).
Bagi para penikmat kedalaman dan keluasan makna Al-Qur’an, kesimpulan mana tema yang paling dominan dalam satu surah tak begitu penting, boleh jadi keduanya benar, karena ia semata hasil tadabbur (perenungan) yang notabene adalah hasil ijtihad, yang dapat digunakan sebagai kacamata pembantu untuk menyelami keterkaitan antar subtema, antar kisah, dan antar ayat.
Secara global, keseluruhan surat ini berporos pada 3 hal utama;
- Tashih (Perbaikan) Aqidah, poin ini sangat kentara pada ayat pertama dan ayat terakhirnya; yang menegaskan tentang kebenaran wahyu, kepastian hari pembalasan, dan koreksi terhadap aqidah nasrani (trinitas). Aspek-aspek koreksi terhadap keyakinan manusia juga nampak secara eksplisit mengiringi di sela-sela kisah yang sedang diceritakan.
- Tashih (Perbaikan) Metode Berpikir, poin ini nampak pada koreksi keras terhadap keyakinan yang dibangun di atas pola pikir yang salah, keyakinan tentang adanya anak bagi Allah Ta’ala yang bersumber dari keyakinan yang dibangun tanpa basis pengetahuan (ayat 4-5). Pada aspek lain, koreksi ini juga nampak pada penegasan bahwa pengetahuan –terutama tentang hal yang ghaib- harus dibangun di atas basis teologis yang benar (ayat 19), dengan menyerahkan pengetahuan mutlak semata kepada Allah.
- Tashih (Perbaikan) Nilai Etika dengan Timbangan Aqidah. Poin ini terungkap misalnya tatkala Allah menegaskan bahwa standar kualitas diukur dari amal terbaik (ahsanu ‘amala), bukan standar materi, bahkan ditegaskan bahwa materi justru menjadi ujian siapa pemilik amal terbaik (ayat 7-8).
Hal terpenting yang mungkin menjadi kesimpulan semua hal di atas, pembentukan dan perbaikan persepsi dan cara pandang manusiawi kita agar selaras dengan persepsi Qur’ani adalah sebuah kemestian, karena karakteristik khas utama Al Qur’an –sebagimana kata sebagian cendekiawan- adalah Kitabul Insaniyah (Buku Pedoman Kemanusiaan).
Wallahu A’lam
Jakarta, 070913
Referensi;
[1] Ta’ammulat fi Surah Al-Kahfi, AnNadwy, sebagaimana dikutip Prof Dr Shalah Al-Khalidy dalam Ma’a Qashash Sabiqin (Kisah Orang-orang Terdahulu).
[2] Awashim minal Fitan fi Surah Al-Kahfi (Perlindungan dari Fitnah dalam Surah Al-Kahfi), Sh Abd Hamid Thahmaz.
بارك الله فيك يا أستاذ..
ReplyDeleteنسأل الله أن يرزقنا علما نافعا
آمين يا رب
inspiratif dan berbobot...
ReplyDelete