Saturday, July 19, 2014

Tadabbur Surah Al-Ikhlas

Dari Tauhid menuju Cinta

Pengembaraan manusia dalam proses mengenali Tuhannya adalah proses yang dinamis, ia tak pernah berhenti begitu saja, karena kecenderungan beriman kepada Tuhan adalah inheren dan natural sejak ia dilahirkan, fitrah, sebagaimana agama menyebutkannya demikian.

Seorang cendekiawan besar Andalusia abad pertengahan, As-Syatibi (w 790 H), pernah bertutur; “manusia pada umumnya tak berselisih tentang keberadaan Yang Mengatur mereka, Yang Menciptakan mereka, namun mereka berselisih dalam mendefinisikannya; siapa. Sebagian mereka mendefinisikannya dalam hitungan dua atau lima, alam atau masa, atau benda-benda di langit, ada pula yang menuhankan manusia, pohon, bebatuan, bahkan apa yang dipahat oleh tangan mereka sendiri”. Kecenderungan akan keberadaan Tuhan –bahkan seorang yang mengaku atheis pun- takkan bisa mengingkarinya, sebagaimana Charles Darwin berkata; “dalam puncak pergolakan hatiku, tak pernah sekalipun aku atheis  dalam arti ingkari wujud Tuhan”.

Mendefinisikan Tuhan –Ma’rifatullah- adalah tujuan utama dari diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Karena mendefinisikan Tuhan tak bisa dijelaskan kecuali oleh Tuhan itu sendiri, sebab manusia hanya bisa mendeskripsikan dan membayangkan apa yang pernah dilihatnya. Sedangkan hakikat Tuhan tak pernah dilihat oleh makhlukNya karena itu Dia tak bisa dideskripsikan dalam versi apapun imajinasi manusia, karenanya Dia tetapkan kaidah; “Laisa Kamitslihi Syai’” ليس كمثله شيء, tak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya”.  Al-Ikhlas adalah wahyu Allah Ta’ala yang Dia turunkan untuk menjawab secara lugas dan tegas akan pencarian tentang definisi diri-Nya. Mayoritas riwayat menyatakan rangkaian ayat-ayat suci ini dilatari oleh pertanyaan-pertanyaan orang Quraisy tentang definisi Tuhan; “Wahai Muhammad, sebutkan nasab Tuhanmu!?” turunlah rangkaian ayat ini sebagai jawaban ringkas, lugas dan tegas tentang definisi Tuhan.